Sang Raja Tanpa Mahkota : Hidup Dan Perjuangan
HOS Tjokroaminoto
Sang raja tanpa mahkota begitulah kaum Kompeni Belanda
menyebutnya, lihai cerdas, dan bersemangat. Di takuti dan juga disegani lawan –
lawan politiknya. Perjuangnya dalam membela hak kaum pribumi saat itu benar –
benar menempatkan dirinya menjadi seoarang tokoh yang benar-benar dihormati
pada saat itu. Dialah H.O.S Tjokroaminoto lahir di desa Bakur, Madiun Jawa
Timur 16 Agustus 1883 (ada yang menulis beliau lahir 20 Mei 1883. Tepat pada waktu
Gunung Krakatau meletus, sebagian menulis lahir tahun 1882). Ia anak kedua dari
dua belas bersaudara putra dari Raden Mas Tjokro Amiseno, seorang Wedana Kleco
dan cucu R.M Adipati Tjokronegoro bupati Ponorogo. Haji Oemar Said Cokroaminoto terlahir dari keluarga
bangsawan tak membuatnya bersikap angkuh, justru karena itulah ia akhirnya
menjadi sebuah motor penggerak kemerdekaan bagi Indonesia disaat semua manusia
tertidur dalam belaian kompeni Belanda.
Pada awalnya, ia juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya,
sebagai pejabat pangreh praja. Ia masuk pangreh praja pada tahun 1900 setelah
menamatkan studi di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari
kedudukannya sebagai pangreh pradja di kesatuan pegawai administratif
bumiputera di Ngawi, karena ia muak dengan praktek sembah-jongkok yang
dianggapnya sangat berbau feodal. Antara tahun 1907 – 1910 bekerja pada Firma
Coy & CO di Surabaya, disamping meneruskan pada Burgelijek Avondschool
bagian mesin. Bekerja sebagai masinis pembantu, kemudian ditempatkan di bagian
kimia pada pabrik gula di kota tersebut ( 1911 – 1912 ).
Bersama istrinya, Suharsikin ia mendirikan rumah kost di
rumahnya di Surabaya, yang nantinya melalui rumah inilah Cokro menyalurkan
ilmunya dalam agama, politik dan berorasi yang akhirnya menjadi cikal bakal
pembentukan tokoh – tokoh penting di Indonesia. R. A. Suharsikin adalah cermin
wanita yang selalu memberikan bantuan moril, selalu menjadi kebiasaannya, jika
suaminya bepergian untuk kepentingan perjuangannya, istri yang sederhana dan
prihatin ini mengiringi suaminya dengan sholat tahajud, dengan puasa, dan do’a.
Dengan lahirnya Sarekat Islam pada tahun 1912, mulailah
Cokroaminoto membuat karya perjuangan. Ketika ia sedang berada di Solo ia
didatangi oleh delegasi Sarekat Islam Solo untuk bergabung pada organisasi ini
dan Tjokroaminoto menyatakan kesiapannya untuk bergabung, Tjokroaminoto dikenal
sebagai orang yang berkarakter radikal yang selalu menentang
kebiasaan-kebiasaan yang memalukan bagi rakyat banyak. Pada saat itu
Tjokroaminoto telah dikenal sebagai seorang yang sederajat dengan pihak manapun
juga, apakah ia seorang belanda ataupun dengan seorang pejabat pemerintah. dan
Tjokroaminoto berkeinginan sekali untuk melihat sikap ini juga dimiliki oleh
kawan sebangsanya terutama di dalam berhubungan dengan orang-orang asing.
Banyak dari sekian banyak orang menyebut dia sebagai seorang Gatotkoco Sarekat
Islam. Rencananya Serikat Dagang Islam H Samanhudi, didirikan pada tahun 1905
yang berorientasi sosial ekonomi, setelah dilebur menjadi S.I diperluas dengan
politik, ekonomi, Sosila dan Agama. Tjokro Muda tokoh politik yang berhasil
menggabungkan retorika politik melawan penjajah Belanda dengan ideology Islam,
sehingga mengenyahkan penjajah dari bumi Nusantara.
Para pendiri Sarekat Islam mendirikan organisasinya tidak
semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang-orang cina, melainkan
membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumiputra, dan merupakan
reaksi terhadap rencana Krestenings-Politiek (Politik Peng-Kristenan)
dari kaum zending, perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan
penindasan-penindasan dari pihak ambtener-ambtener bumi putra dan eropa.
Pendeknya perlawanan Sarekat Islam ditujukan terhadap setiap bentuk penindasan
dan kesombongan rasial. Maka Sarekat Islam berhasil sampai pada lapisan bawah masyarakat,
yaitu lapisan yang sejak berabad-abad hampir tidak mengalami perubahan dan
paling banyak menderita.
Prestasi
perdana Tjokroaminoto adalah ketika ia sukses menyelenggarakan vergadering SI
pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. Rapat besar itu dihadiri 15 cabang
SI, tiga belas di antaranya mewakili 80.000 orang anggota. Kongres resmi
perdana SI sendiri baru terlaksana pada 25 Maret 1913 di Surakarta di mana
Tjokroaminoto terpilih menjadi wakil ketua CSI mendampingi Hadji Samanhoedi.
Dalam posisi wakil ketua inilah Tjokro mulai menanamkan pengaruhnya.
Kongres SI ke-II di Yogyakarta pada 19-20 April 1914
melejitkan nama Tjokroaminoto sebagai Ketua CSI menggantikan Samanhoedi dalam
usia yang masih muda 31 tahun. Di tangan Tjokro, SI mewujud menjadi organisasi
politik pertama terbesar di Nusantara. Pada 1914, anggota resminya mencapai
400.000 orang, sedangkan tahun 1916 terhitung 860.000 orang. Tahun 1917 sempat
menurun menjadi 825.000, pada 1918 bahkan merosot lebih drastis lagi hingga
pada kisaran 450.000, namun setahun berikutnya, tahun 1919, keanggotaan SI
melesat sampai 2.500.000 orang.
Tjokroaminoto adalah seoarang orator ulung dalam
vargadering-vargadering SI yang sanggup mengalahkan “suara baritonnya yang
berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon”. Dibawah kepemimpinannya,
Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari
pemerintahan colonial serta perhatian dari pemimpin besar uni soviet yakni
Lenin.
Konon anggotanya harus mengangkat sumpah rahasia dan
memiliki kartu anggota yang sering kali dianggap sebagai jimat oleh orang-orang
desa. Tjokroaminoto kadang-kadang dianggap sebagai ratu adil, ’raja yang adil’
yang diramalkan tradisi-tradisi mesianik jawa, yang disebut erucakra (yaitu,
nama yang sama dengan Cakra-aminata, Tjokroaminoto) bahkan beberapa
elite kerajaan jawa, yang tak suka dengan campur tangan belanda dalam urusan
mereka, tetapi mendukung Sarekat Islam.
Pada kongres nasional pertama di Bandung pada tahun 1916 ia
berkata:
”Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang disebabkan hanya karena susu. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya adalah penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri… tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita, mengatur hidup kita tanpa partisipasi kita.”
”Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang disebabkan hanya karena susu. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya adalah penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri… tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita, mengatur hidup kita tanpa partisipasi kita.”
HOS pada kongres CSI tahun 1917 HOS mengutarakan
persaudaraan umat tidak terbatas letak geografis ras suku dan kedudukan, semua
berlandaskan persaudaraan Islam. HOS tidak menyebutkan kata Ukhuwah. Tapi
gagasan yang HOS gunakan menempatkan Islam sebagai pemersatu seluruh umat.
Sifat politik dari organisasi ini dirumuskan dalam
“keterangan pokok” (asas) dan program kerja yang disetujui oleh kongres
nasional yang kedua dalam tahun 1917. keterangan pokok ini mengemukakan
kepercayaan central Sarekat Islam bahwa “agama Islam itu membuka rasa
pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil menjunjung tinggi kepada kuasa
negeri” dan “bahwasanya itulah {Islam} sebaik-baiknya agama buat mendidik budi
pekertinya rakyat”. Partai juga memandang “agama … sebagai
sebaik-baiknya daya upaya yang boleh dipergunakan agar jalannya budi akal
masing-masing orang itu ada bersama-sama pada budi pekerti… ”. sedangkan negeri
atau pemerintah “hendaklah tiada terkena pengaruhnya percampuran barang suatu
agama, melainkan hendaklah melakukan satu rupa pemandangan di atas semua agama
itu.” Central Sarekat Islam pun “tidak mengharapkan sesuatu golongan
rakyat berkuasa di atas golongan rakyat yang lain. Ia lebih mengharapkan
hancurnya kuasanya satu kapitalisme yang jahat (zondig kapitalism), dan
memperjuangkan agar tambah pengaruhnya segala rakyat dan golongan rakyat … di
atas jalannya pemerintahan dan kuasanya pemerintah yang perlu akhirnya mendapat
kuasa pemerintah sendiri (zelf bestuur).” Dalam mencapai maksud dan tujuan
ini Central Sarekat Islam mencari kerjasama dan saling membantu dengan
pihak-pihak yang menyetujuinya.
Perkembangan pesat SI lebih disebabkan citra Islam, yang
menjadi magnet utama menarik massa. Apalagi SI adalah tempat berkumpulnya para
tokoh Islam terkemuka, sebut saja KH Ahmad Dahlan, Agus Salim, AM Sangadji,
Mohammad Roem, Fachrudin, Abdoel Moeis, Ahmad Sjadzili, Djojosoediro,
Hisamzainie, dan lain-lainnya. Orang-orang besar inilah yang sangat dikagumi
dan menjadi panutan bagi sekalian rakyat.
Tjokroaminoto
pun sempat menghasilkan buku-buku Islam, juga menulis banyak artikel tentang
materi keislaman. Meski Tjokro bukan seorang ahli agama yang benar-benar murni
berkonsentrasi pada pemahaman ajaran Islam, tetapi Tjokroaminotolah yang
menjadi Bapak Politik Umat Islam Indonesia. Ia adalah negarawan muslim yang
mengajarkan pendidikan politik kepada seluruh rakyat Indonesia.
Dalam memimpin, Tjokroaminoto banyak melakukan
tindakan-tindakan yang seringkali membikin pemerintah Hindia Belanda berang.
Antusiasme rakyat terhadap SI membuat kaum kolonialis khawatir akan timbulnya
perlawanan massal di kelak kemudian hari. Di setiap kegiatan SI, massa yang
datang pasti bejubel. Tjokro pernah pula memimpin aksi buruh, membuka ruang
pengaduan untuk rakyat di rumah dan di kantornya, membela kepentingan kaum
kromo lewat pidato dan tulisannya di media pergerakan, mengetuai dibentuknya
komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) untuk memertahankan
kehormatan Islam, serta memantik rasa kebangsaan Indonesia dengan menggencarkan
gagasan soal pemerintahan sendiri untuk orang Indonesia atau zelfbestuur.
Ketakutan pemerintah kolonial terhadap sepak terjang
Tjokroaminoto dan SI membuat mereka terpaksa merangkulnya untuk duduk sebagai
anggota Volksraad atau Dewan Rakyat. Penunjukan Tjokro ini membuat beberapa
golongan di internal SI, terutama dari SI Semarang yang dimotori Semaoen dan
Darsono, menentang kebijakan ini. Mereka juga tidak sepakat dengan dukungan
Tjokroaminoto terhadap rencana pembentukan milisi bumiputera.
Karena aktifitas politiknya Belanda akhirnya menangkap
Tjokro pada tahun 1921 karena dikhawatirkan akan membangkitkan semangat
perjuangan rakyat pribumi walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922, sebuah
cobaan yang lazim diterima para penegak syariat islam di seluruh dunia.
Sebagai seorang pemimpin, wajar jika Tjokroaminoto punya
banyak murid, di antaranya adalah Soekarno, Muso, Alimin, Kartosoewirjo, Buya
Hamka, Abikoesno, dan banyak lagi. Para anak didik Pak Tjokro ini kelak akan
menjelma sebagai pemimpin-pemimpin baru bangsa Indonesia. Seperti Soekarno yang
Nasionalis, SM kartosuwirjo yang Islamis Dan Muso-Alimin yang Komunis.
Perbedaan idiologi dari murid – muridnya tersebut secara tidak langsung
memberikan warna sendiri bagaimana secara aktif ide-ide, ilmu dan gagasan Cokro
menghujam kedada mereka. Walaupun dengan pemahaman yang beraneka ragam sesuai
dengan latar belakang, pendidikan dan pekerjaanya masing masing. Jadi,
pertarungan Soekarno, Kartosuwirjo dan Muso-alimin sejatinya adalah pertarungan
tiga murid dari seorang guru Tjokroaminoto. Hal ini mengisaratkan bahwa adanya
perbedaan tafsir para murid terhadap guru dan kemudian mendorong kecenderungan
yang berbeda pula.
Dalam beberapa hal, ide Islam Tjokro lebih dipahami oleh
Kartosuwirjo dengan Darul Islamnya, ia melanjutkan perjuangan yang telah
dirintis oleh Tjokro yakni menuntut Indonesia dalam wujud Ad-daulatul Islamiyah.
Dengan dasar itu ia akhirnya memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada 7
Agustus 1949 di Jawa Barat.
Pak Tjokro juga seorang jurnalis. Ia pernah memimpin
suratkabar Otoesan Hindia yang merupakan organ internal SI sekaligus sebagai
pemilik usaha percetakan Setia Oesaha di Surabaya. Juga pernah terlibat dalam
Bendera Islam bersama Agus Salim, Soekarno, Mr Sartono, Sjahbudin Latief,
Mohammad Roem, AM Sangadji, serta aktivis Islam dan Nasionalis lainnya. Fadjar
Asia pun terbit sebagai suratkabar pembela rakyat berkat kerja kerasnya bersama
Agus Salim dan Kartosoewirjo. Tjokroaminoto pun piawai menulis buku, di
antaranya adalah dua buku yang diberi judul Tarich Agama Islam serta Islam dan
Sosialisme.
Tjokroaminoto menguasai bahasa Jawa, Belanda, Melayu, dan
bahasa Inggris. Bahasa Jawa mengandung kelembutan dalam bentuk dan wujudnya,
juga dalam pengucapannya. Namun, dalam kata-kata lembut itu termuat maksud dan
isi yang tajam, serta seringkali berupa kiasan atau sindirian yang tak kalah
menohok, dan itulah yang sering dilakukan Tjokro untuk “menghabisi” lawan
bicaranya. Tjokro juga mulai belajar bahasa Inggris, meski hanya sendiri tanpa
guru yang mengajari. Tjokroaminoto sempat menghasilkan pidato dan beberapa
tulisan tangkas berbahasa Inggris. Ilmu bahasa universal itu sempat ia terapkan
untuk menerjemahkan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia.
“Tjokroaminoto mempunyai keyakinan yang teguh, bahwa
Negara dan bangsa kita tak akan mentjapai kehidupan jang adil dan makmur,
pergaulan hidup jang aman dan tenteram, selama keadilan sosial sepandjang
adjaran-adjaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan mendjadi hukum dalam
Negara kita, sekalipun sudah merdeka.
Terbukti
sekarang, sekalipun Negara dan bangsa kita sudah merdeka dan berdaulat bernaung
dibawah pandji-pandji sang merah putih, namun rakjat jelata yang berpuluh-puluh
juta jumlahnya belum merasakan kenikmatan dan kelezatan hidup dan kehidupan
sehari-harinya. Rakyat masih tetap menderita kesukaran dan kemelaratan. Ketakutan
timbul dimana-mana. Perampokan, Korupsi. Penculikan dan pembunuhan seolah-olah
tak dapat diatasi oleh pihak (alat) pemerintahan.
Dikota-kota besar nampak pula kerusakan moral (budi pekerti)
bangsa kita. Bukan saja pelacuran yang merajalela dari kota-kota sampai
desa-desa, tetapi kemaksiatan yang lain dan pihak yang dikatakan kaum terpelajar,
pemuda dan pemudi tak ada batas lagi pergaulan hidupnya, pergaulan yang
merdeka. Pergaulan yang mempengaruhi alam pikiran pada kesesatan. Sumber-sumber
peraturan telah menjadi pergaulan hidup yang modern. Kemajuan yang mencontoh
dunia barat yang memang sudah rusak. Rusak budi-pekertinya dan rohaninya. Tak
ada kendali didalam jiwa yang dapat menahan hawa nafsunya. Inilah semuanya yang
oleh ketua Tjokroaminoto dikatakan Djahiliah modern.
Kalau alat-alat pemerintah RI jang memegang tampuk kekuasaan
pemerintahan, baik pihak atasan maupun sampai bawahan sudah tidak takut lagi kepada
hukuman Allah, yakinlah Negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya, sebab
segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suapan dan sebagainya yang terang
terang merugikan Negara, dikerjakan dengan aman oleh mereka sendiri, rakyat
mengerti sebab rakyat yang menjadi korban”.
Di tengah pemerintah kolonial yang masih kuat apalagi saat
itu Belanda masih menerapkan peraturan Reegerings Reglement (RR) sebuah
peraturan yang berisi larangan berpolitik, berkumpul untuk membahas perjuangan
kemerdekaan. Yang otomatis Cokro saat itu harus berhadapan dengan dua lawan
yaitu Belanda dan Pangreh Praja yang menjadi kaki tangan Belanda. Pada tahun
1924, Cokro mulai aktif dalam komite –komite pembahasan kekhilafahan yang
dicetuskan pemimpin politik Wahabiah Arab, Ibnu Saud. Sebuah langkah untuk
memperkuat barisan menuju kemerdekaan dan kekhalifahan dunia.
Satu
hal yang penting bagi Tjokro, ia berfikir reflektif sebagai respons atas
pertautan zamannya. Islam ditemukannya sebagai suatu ideologi. Setelah menemukan
Islam sebagai Ideologi, maka Tjokro memberi geist baru bagi Islam yaitu dengan
sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an. Tampaknya, Tjokro sadar akan
bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya” banyak menarik pengikut dari
aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara pasif, bukan suatu unsur yang
“seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan, maka langkah Islam tidak akan
beranjak dari fungsi praktik ritual belaka.
Sosialisme Islam Tjokroaminoto
Sosialisme Islam menurut Tjokro adalah sosialisme yang wajib
dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain,
melainkan sosialime yang berdasar kepada azaz-azaz Islam belaka. Baginya,
cita-cita sosialisme dalam Islam tidak kurang dari 13 abad umurnya dan tidak
ada hubungannya dengan pengaruh bangsa eropa. Azaz-azaz sosialisme Islam telah
dikenal dalam pergaulan hidup Islam pada zaman nabi Muhammad SAW.
Islam secara tegas mengharamkan riba (woeker) dan itu
artinya Islam menentang keras terhadap kapitalisme. Sebagaimana ditulis Tjokroaminoto
dalam bukunya Islam dan Sosialisme, “Menghisap keringatnya orang-orang yang
bekerja, memakan pekerjaan lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan
yang semestinya (dengan seharusnya) kebahagiannya lain orang yang turut bekerja
mengeluarkan keuntungan itu,- semua perbuatan yang serupa ini (oleh Karl Marx
disebut memakan keuntungan “meerwaarde” (nilai lebih) adalah dilarang dengan
sekeras-kerasnya oleh agama Islam”.
Islam menentang kapitalisme juga terlihat bagaimana konsep
muamalah Islam diberlakukan. Ajaran Islam mengajarkan bahwa akan celaka orang
yang mengumpulkan harta untuk kesia-siaan. Dalam muamalah Islam kata Tjokro,
praktek yang mengarah pada penimbunan dan penumpukan modal dan barang adalah
dilarang. Termasuk Islam melarang keras praktek riba karena dianggap benih
kapitalisme yang menurut pendapat Karl Marx disebut sebagai meerwarde.
Azaz penting menurut Tjokro mengapa Nabi Muhammad gigih
memperjuangkan Sosialisme Islam karena Islam mengajarkan sebesar-besarnya
keselamatan hendaknya menjadi bahagiannya sebanyak-banyaknya manusia, dan
keperluannya seseorang hendaknya bertakluk kepada keperluannya orang banyak.
Termasuk pencapaian rahmatan lil alamien yang menjadi misi kerosulan Nabi
Muhammad adalah ingin meletakkan semangat keadilan dan kemanusiaan yang
meniscayakan hadirnya sistem yang mensejahterakan.
Maka kalau ditelaah lebih jauh pemikiran diatas bahwa
sebenarnya semangat perjuangan Tjokroaminoto adalah ingin meletakkan Islam
sebagai unsur fundamental untuk membebaskan rakyat dari kesewenang-wenangan
rezim Kolonial Belanda. Sosialisme Islam baginya adalah ruh pembebasan manusia
dari pemiskinan yang digerakkan oleh sistem. Perlawanan terhadap sistem yang
tidak berkeadilan beliau letakkan sebagai misi kenabian sebagaimana ajaran Nabi
Muhammad.
Bagi Tjokroaminoto, dasar sosialisme Islam adalah ajaran
Nabi Muhammad tentang kemajuan budi pekerti rakyat. Sehingga Tjokro membagi
anasir sosialisme Islam pada tiga anasir, pertama, kemerdekaan
(vrijheid-liberty). Kedua, persamaan (gelijk-heid-eguality), dan ketiga,
persaudaraan (broederschap-fraternity).
Bagi Cokro, Islam adalah sesuatu yang harus di perjuangkan
dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang hendak di proses menuju
Indonesia. Tipikal Cokro, identik dengan AI-Afghani yang juga merupakan tokoh
politik Pan-Islamisme (kebangkitan Islam). Cokro dan Afghani juga sama-sama
mengalami kegagalan dalam perjuangan Pan-Islamismenya. Namun, arti penting
keduanya bukan pada kemenangan atau kekalahan. Keduanya menjadi penting karena
menggulirkan momentum perubahan pemikiran dalam Islam. Keduanya juga menjadi
ruh perjuangan bagi kepentingan politik Islam.
Ruh Cokro akan masih terus bergerak menjadi spirit
perjuangan ketika islam di artikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak
statis. Yang mengatakan ,” Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid ,
sepintar-pintar siasat”. Beliau wafat pada tanggal 17 Desember 1934 di
Yogyakarta, dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta.
Sumber buku :
- Amelz, H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
- Brackman, Arnold. Indonesian Communism, (New York: Preager, 1963.
- Dengel, Holk. Darul Islam dan Kartosuwiryo: Sebuah Angan-Angan yang Gagal, Jakarta: Sinar Harapan, 1997.
- Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LkiS, 1998.
- Legge, J.D. Sukarno, Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 2000.
- Geertz, Clifford. Santri, Abangan dan Priyayi, Jakarta: PT Gramedia, 1982.
- Ingleson, John. Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1988
- Mc.Vey, Ruth. The Rise of Indonesian Communism, Ithaca.NY: Cornell University Press, 1965.
- Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, 1997.
- Tjokroaminoto, HOS. Sosialisme di dalam Islam, dikutip dari Islam, Sosialisme dan Komunisme (editor: Herdi Sahrasad), Jakarta: Madani Press, 2000.
- Deliar Noer, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES
- Sartono Kartodirjo, dkk, 1975, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- M.C.Richlefs, 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi
0 komentar:
Posting Komentar