“KONSEP PENDIDIKAN MENURUT IBNU
KHALDUN”
A.
Riwayat
Singkat
Ibnu
khaldun adalah seorang filsuf sejarah yang berbakat dan cendekiawan terbesar
pada zamannya, salah seorang pemikir terkemuka yang pernah dilahirkan. Beliau
adalah seorang pendiri ilmu pengetahuan sosiologi yang secara khas membedakan
cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasan-alasan untuk
mendukung kejadian-kejadian yang nyata[1]. Nama
lengkap Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun
al-Hadrami. Beliau dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H. / 27 Mei 1332
M, wafat 19 Maret 1406/808H. Beliau dikenal sebagai sejarawan dan bapak
sosiologi Islam yang hafal Alqur'an sejak usia dini, selain itu beliau juga membahas
tentang pendidikan islam. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah
(Pendahuluan)[2].
Beliau
masih memiliki garis keturunan dengan Wail bin Hajar, salah seorang sahabat
Nabi Saw. Wail bin Hajar pernah meriwayatkan sejumlah hadith serta pernah dikirim
nabi untuk mengajarkan agama Islam kepada para penduduk daerah itu. Pada abad
ke-8 M Khalid bin Utsman datang ke Andalusia bersama pasukan arab penakluk
wilayah bagian selatan Spanyol. Khalid kemudian lebih dikenal panggilan Khaldun
sesuai dengan kebiasaan orang Andalusia dan Afrika Barat Laut yakni dengan
penambahan pada akhir nama dengan “un” sebagai pernyataan penghargaan kepada
keluarga penyandangnya. Dengan demikian Khalid menjadi Khaldun. Di Andalusia
keluarga Khaldun memainkan peranan yang cukup menonjol baik dari segi ilmu
pengetahuan maupun dari segi politik.
1.
DASAR
PEMIKIRAN
2.
Di
dalam kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan
secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti
dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:
“Barangsiapa
tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya
barangsiapa yang tidak memperoleh tatakrama yang dibutuhkan sehubungan
pergaulan bersama melalui orangtua mereka yang mencakup guru-guru dan para
sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya
dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman,
zaman akan mengejarnya.”
Dari
pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai
pengertian yang cukup luas. pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar
mengajar yang dibatasi, tetapi pendidikan adalah suatu proses dimana manusia
secara sadar menangkap, menyerap dan menghayati peristiwa-peristiwa alam
sepanjang zaman[3].
Menurut Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang
semata-semata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek
pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain
merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. Ibnu Khaldun
melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya. Ia lebih
banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan
kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Ibnu
Khaldun memandang bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang berbeda dengan
berbagai makhluk lainnya. Manusia, menurut Ibnu Khaldun adalah makhluk
berpikir. Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan). dan
sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki makhluk lainnya. Menurut Ibnu Khaldun
bahwa secara esensial manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian
ilmu pengetahuan. Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari
jenis binatang, dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi
akal pikiran. Lebih lanjut Ibnu Khaldûn mengatakan bahwa, kemampuan manusia
untuk berpikir baru diperolehnya setelah sifat kebinatangannya mencapai
kesempurnaan di dalam dirinya. Itu dimulai dari kemampuan membedakan (tamyiz).
Sebelum manusia memiliki tamyiz, dia sama sekali tidak memiliki pengetahuan.
Sebelum pada tahap ini manusia sama sekali persis seperti binatang. Kemudian
Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu
itu manusia adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu
pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang
dicari melalui organ tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya,
dia siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya.
Maka dia selalu berfikir tentang semuanya[4].
Dari
pikiran ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian
manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin
mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu
atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan
pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta
memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi esensinya.
Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala hakekat
menjadi suatu kebiasaan baginya. Ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial,
dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu
tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan, dan dari
sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia[5]. Dari
sinilah timbul yang dinamakan dengan proses pendidikan dan pengajaran.
Selanjutnya,
sebagai makhluk sosial, pertumbuhan dan perkembangan individu tersebut
pemanfaatannya tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk
kepentingan bersama, kepentingan masyarakat (homo socius). Bahkan pertanggungjawaban
perilaku dirinya, juga tidak hanya tertuju kepada individu yang bersangkutan,
melainkan juga tertuju kepada masyarakat. Dan dalam proses sosial dalam bentuk
interaksi sosial, manusia tidak terlepas dari konteks sosial yang disebut
“lingkungan sosial”. Lingkungan sosial ini besar sekali pengaruhnya terhadap
pembentukan pribadi individu. Sebagaimana Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya
mengatakan bahwa:
“Manusia adalah makhluk sosial (al-Insanu
madaniyyun bi al-Thab’i). pernyataan ini mengandung bahwa seorang manusia tidak
bisa hidup sendirian dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan
kehidupan bersama. Dia tidak akan mampu menyempurnakan eksistensi dan mengatur
kehidupannya dengan sempurna secara sendirian. Benar-benar sudah menjadi
wataknya, apabila manusia butuh bantuan dalam memenuhi kebutuhannya[6].” Manusia
memerlukan pendidikan, karena ia dalam keadaan tidak berdaya, dan
ketidakberdayaan itu memerlukan bantuan orang lain. Sebab secara esensial bahwa
pendidikan adalah media untuk menolong dan menjadikan manusia menjadi manusia.
3.
TUJUAN
PENDIDIKAN
Menurut
Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-semata
bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam
kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial
yang menjadi ciri khas jenis insani. Tradisi penyeledikan ilmiah yang dilakukan
oleh ibnu khaldun dimulai dengan menggunakan tradisi berfikir ilmiahdengan
melakukan kritik atas cara berfikir “model lama” dan karya-karya ilmuwan
sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai karya-karya sebelumnya, telah
memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih,
pengetahuan ilmia bertaut pengetahuan yang otentik[7]. Adapun
tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun yaitu: ·
1. Menyiapkan
seseorang dari segi keagamaan ·
2. Menyiapkan
seseorang dari segi akhlaq ·
3. Menyiapkan
seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial ·
4. Menyiapakn
seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan ·
5. Menyiapkan
seseorang dari segi pemikiran ·
6. Menyiapkan
seseorang dari segi kesenian Pandangan Ibnu Khaldun tentang Pendidikan Islam
berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris.
Menurutnya
ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan yaitu:
- Pengembangan kemahiran (al-malakah atau
skill) dalam bidang tertentu,
- Penguasaan
keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman
- Pembinaan pemikiran yang baik[8].
4.
KURIKULUM
Pengertian
kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan
pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran
yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang
dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum
modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat
unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai,
pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan,
pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran
serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk
mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.
Dalam
pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum
yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di
negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem
pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib
membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur’an dari
berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan
al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur’an merupakan sumber
Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi
pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan
juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat,
kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang
Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an dengan hadits dan
kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu. Adapun metode yang dipakai orang
Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang
Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur’an dan
kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan.
Dalam
hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih
dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah
merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya
mengajarkan al-Qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan
mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan
membaca apa yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan
salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun
telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada
waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1)
Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah) Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari
al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan
cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan
kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits. Adapun yang
termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat,
ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu
tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2)
Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah) Ilmu ini bersifat alami bagi
manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini
dimiliki semua anggota masyarakat di dunia. memberikan problem-problem pokok
yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak
didik.
4. METODE
Dalam
melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode
mengajar yang efektif dan efisien. Metode pendidikan adalah segala segi
kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka memenuhi mata
pelajaran yang diajarkannya. Ciri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana
alam di sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses
belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku
mereka. Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran),
yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat
empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar
empat dasar persoalan pendidikan. Berikut ini metode-metode pengajaran dan
pendidikan yang ditawarkan Ibnu Khaldun :
1.
Metode
Pentahapan dan Pengulangan (Tadarruj Wat Tikrāri)
Menurut
Ibnu Khaldun, mengajarkan anak-anak atau remaja hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip
pandangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat total
(keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci, sehingga anak dapat
menrima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang diajarkan,
lalu guru mendekatkan ilmu itu kepada pikirannya dengan penjelasan dan
uraian-uraian sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya anak-anak tersebut
serta kesiapan kemampuan menerima apa yang diajarkan[9]. Kemudian
guru mengulangi lagi ilmu yang diajarkan itu agar anak-anak meningkat daya
pemahamannya sampai kepada taraf yang tertinggi melalui uraian dan pembuktian
yang jelas, setelah itu beralih dari uraian yang global kepada uraian yang
hingga tercapai tujuan akhirnya yang terakhir, kemudian diulangi sekali lagi
pelajaran tersebut, sehingga tidak lagi terdapat kesulitan murid atau anak
untuk memahaminya dan tak ada lagi bagian-bagian yang diragukan.
Pengulangan
secara bertingkat ini, menurut pendapat beliau, sangat besar faedah dalam upaya
menjelaskan dan memantapkan ilmu ke dalam jiwa anak serta memperkuat kemampuan
jiwanya untuk memahami ilmu. Tujuan mempelajari ilmu tersebut adalah kemahiran
anak dalam mengamalkannya, serta mengambil manfaatnya dalam kehidupan
sehari-hari. Alasan mengulang-ulang sampai beberapa kali (tiga kali) adalah
karena kesiapan anak memahami ilmu pengetahuan atau seni berlangsung secara
bertahap.
Metode
tersebut benar-benar sejalan dengan teori-mengajar yang terbaru yang menyatakan
bahwa pentahapan pemahaman anak memerlukan pemahaman tentang perkembangan jiwa
yang berlangsung secara berbeda-beda bagi masing-masing anak. Dengan cara
mengulang-ulangi akan membawa anak kepada ketelitian yang menjadi salah satu
faktor dari sistem belajar praktis. Memang benar jika dikatakan bahwa
mengulang-ulangi berbuat sesuatu akan menimbulkan keseimbangan dan memudahkan
pemantapan ingatan dan menumbuhkan sistem berpikir yang teratur dalam jiwa
anak.
Metode
pengulangan yang diuraikan oleh Ibnu Khaldun tersebut adalah sesuai dengan
metode atau langkah-langkah belajar murid dalam pendidikan modern yang
merupakan persyaratan dalam proses penyusunan pengalaman murid yang terbentuk
secara berurutan. Hal ini berarti bahwa pengulangan pengalaman yang
berkali-kali berbeda ke dalam intensitasnya dalam kemajuan belajar anak. Psikologi
modern memandang bahwa pengulangan itu merupakan salah satu metode belajar yang
baik, karena dapat memperbaiki pengetahuan pada tahap permulaannya yang sesuai
dan benar dengan teori – kemampuan menangkap perngertian menusia terhadap obyek
pengalaman (seperti telah diuraikan dalam teori Gestalt).
Teori
pertama menetapkan bahwa manusia mengamati benda-benda dengan secara
keseluruhan pada permulaannya, kemudan semakin nampak rinciannya. Teori
demikian telah diungkap oleh Ibnu Khaldun sebelum teori Gestalt, maka
menjadilah totalitas pengetahuan anak pada permulaan pengamatan, baru kemudian
nampak rincian-rinciannya memang berlangsung menurut tabiat akal-pikiran dalam
proses pengamatan indrawi terhadap benda-benda[10].
2.
Menggunakan Sarana Tertentu untuk Menjabarkan
Pelajaran
Ibnu
Khaldun mendorong kepada penggunaan alat-alat peraga, karena anak pada waktu
mulai belajar permulaannya lemah dalam memahami dan kurang daya pengamatannya.
Alat-alat peraga itu membantu kemampuan memahami ilmu yang diajarkan kepadanya,
dan hal inilah yang ditekankan oleh beliau, karena memang anak bergantung pada
panca inderanya dalam proses penyusunan pengalamannya. Dalam pekerjaan mengajar
alat-alat peraga tersebut merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas,
yang berlawanan dengan kebiasaan merumuskan kalimat-kalimat yang ditulis atau
diucapkan, di samping itu juga alat peraga ini menjadikan pengetahuan anak
bersentuhan dengan pegalaman indrawi yang hakiki.
Maka
dari itu makna yang terkandung di dalam metoda ini adalah lebih memudahkan anak
memahami pelajaran dan mengurangi kesalahan daya penerimaan ilmu yang diajarkan
serta memperkecil pemahaman yang buruk, dan sebagainya. Jadi dengan demikian
Ibnu Khaldun mendahului zamannya dengan pendapat-pendapat beliau yang terbukti
sesuai dengan pandangan ilmu pendidikan modern[11].
3.
Widya-wisata merupakan Alat untuk Mendapatkan
Pengalaman yang Langsung
Ibnu
Khaldun mendorong agar melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu karena dengan
cara ini murid-murid akan mudah mendapat sember-sumber pengetahuan yang banyak
sesuai dengan tabiat eksploratif anak dan pengetahuan mereka berdasarkan
observasi langsung itu berpengaruh besar dalam memperjelas pemahamannya
terhadap pengetahuan lewat pengamatan indrawinya. Pendidikan modern sekarang
memperkuat pandangan Ibnu Khaldun tentang perlunya widyawisata sebagai sarana
yang besar artinya dalam upaya mendapatkan pengetahuan secara langsung di
lapangan dan pengaruhnya kuat sekali dalam hati anak. Sehingga beliau mengatakan;
“Sesungguhnya
melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu dan menjumpai para ahli ilmu
pengetahuan dan tokoh-tokoh ilmu dan tokoh pendidikan, menambah kesempurnaan
ilmu mereka, sebab banyak orang menimba pengetahuan dan akhlak serta aliran
paham yang dianut serta keutaman-keutamaan mereka; kadangkala dengan cara
menukil ilmu, mempelajari atau menerima kuliah, dan kadang kala dengan cara
meniru dan belajar melalui peergaulan dengan mereka. Sedangkan keberhasilan mendapatkan
pengetahuan dengan bergaul dan menerima pelajaran langsung ke sumbernya akan lebih
mendalam dan lebih kuat kesannya daripada cara lain, apalagi melalui banyak guru
yang ilmunya bermacam-macam[12].
Yang
dimaksud dengan “perlawatan” (rihlah) menurut beliau ialah perjalanan untuk menemui
guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan belajar kepada para tokoh ulama
dan ilmuwan terkenal. Menuntut ilmu pada masa beliau berjalan melalui 2 cara:
A. Belajar
mendapatkan ilmu dari kitab-kitab (buku-buku) yang dibacakan oleh guru-guru
yang mengajar, lalu mereka mengistimbatkan (menyimpulkan) permasalahan ilmu
pengetahuan tersebut kepada murid-muridnya.
B. Dengan jalan mengikuti para ulama terkenal
yang mengarang kitab-kitab tersebut serta mendengarkan secara langsung
pelajaran yang mereka berikan
.
Ibnu
Khaldun lebih menyukai cara yang kedua karena perlawatan dengan cara ini tidak
lain adalah perjalanan yang bertujuan untuk mengobservasi pengetahuan secara
langsung pada sumbernya, serta mendiskripsikan apa yang diamati secara
langsung. Tujuan dari perlawatan ini ialah memperoleh pengalaman dan
pengetahuan langsung dari sumbernya yang asli, meskipun caranya berlain-lainan,
namun tak diragukan lagi bahwa sesungguhnya menerima pelajaran dari para ulama
yang mempunyai keahlian khusus di rumah mereka memberikan kepada pelajar suatu
pandangan dan observasi khusus. Kita dapat firman Allah dalam kitab suci
Al-Qur’an yang berkaitan dengan widyawisata ini sebagai berikut:
“Katakanlah:
“Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang
mempersekutukan (Allah).” (Ar-rūm, 42)[18].
4.
Tidak
Memberikan Presentasi yang Rumit Kepada Anak yang Baru Belajar Permulaan
Ibnu
Khaldun mengajarkan hendaknya jangan mengajarkan anak-anak dengan
definisi-definisi, dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, khsusnya pada permulaan
belajar akan tetapi seharusnya guru memulai dengan memberikan contoh-contoh
yang mudah dan membahas nas-nas serta mengistimbatkan (mengambil kesimpulan)
yang khusus. Pemahaman anak terhadap pengertian kaidah dan norma-norma serta
definisi-definisi berarti menghadapkan anak kepada kaidah-kaidah ilmu yang
bersifat menyeluruh dan menghadapkan kepada anak permasalah (problema) ilmu
secara sekaligus, hal ini jelas belum dapat dimengerti oleh anak karena usianya
yang belum matang, dan juga karena hal itu akan menyebabkan akal pikirannya
dibebani dengan kesulitan dan rasa malas, bahkan memperkecil daya pikirnya yang
akan berakhir pada apa ang dinamakan “kelumpuhan akademis”.
Hal
demikian akan mengakibatkan anak lari dari ilmu dan membencinya. Bukan ilmu
yang salah, tetapi metodenya yang buruk, karena tidak memperhatikan
kecenderungan anak dan kesiapan kemampuannya. Pendapat beliau tentang metode di
atas dan tujuan penggunaannya, adalah sejalan dengan psikologi modern saat ini,
yang mengajak untuk memperhatikan pengalaman yang telah di peroleh anak
sebelumnya, yang berkaitan dengan pengetahuan empiris, untuk dikembangkan ke
arah pengalaman barunya.
Dari
segi pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa metode pengajaran yang ditetapkan
berdasarkan atas prinsip-prinsip mengajar murid dengan kaidah-kaidah atau
norma-norma pada permulaannya disertai dengan contoh-contoh yang sesuai,
dianalogikan dengan contoh-contoh yang telah ia saksikan sendiri, maka metoda
tersebut dinamakan metode analogi yang simultan seperti mengajarkan pengertian
kalimat :
ضرب
زيد عمروا
“Zaed
telah memukul ‘Amr”
Metode
demikian tidak sesuai dengan pendapat Ibnu Khaldun, karena beliau berpendapat
bahwa contoh-contoh lebih dahulu diberikan disertai dengan nas-nas kesaksian
untuk diambil takrif (definisi) dan kaidah-kaidah secara umum, maka metode
demikian ini sejalan dengan metode ilmiah. Dalam hubungan ini, bahan pelajaran
yang bersifat lughawi dan gaya-gaya bahasanya adalah merupakan bahan
pengetahuan yang masih kasar tapi bagus dan khusus sifatnya, yang disajikan
oleh guru sesuai dengan kemampuan murid. Kemudian didiskusikan dari segi
sastranya agar dipahami dan dirasakan arti yang terkandung di dalamnya.
Setelah
itu mengalihkan pandangan murid kepada dasar-dasar gramatika yang terkandung
dalam nas Al-Qur’an, atau ibarat-ibarat dan gaya-gaya bahasanya yang dapat
diambil daripadanya. Dengan menggunakan metode diskusi dan tanya jawab, maka
dapat dilakukan istimbat untuk dirumuskan definisi dan kesimpulan daripada apa
yang telah dibicarakan[13].
5.
Harus Ada Keterkaitan Dalam Disiplin Ilmu
Ibnu
Khaldun mendorong agar guru dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya mengkaitkan
dengan ilmu lain, (jangan terpisah-pisah). Karena memisah-misahkan ilmu satu
sama lain menyebabkan kelupaan; hal ini diperkuat dengan uraian terdahulu
tentang perlunya mengajar dengan pengulangan sampai tiga kali tanpa
terpisah-pisah atau terputus-putus, agar memudahkan orang tidak lupa.
Sebenarnya masalah waktu itu sendiri yang memegang peranan apakah memperlancar
atau menghambat kemampuan memperoleh ilmu.
Dalam
hal ini Ibnu Khaldun tidak setuju memisah-misah dan memotong-motong ilmu demi
untuk memberikan waktu istirahat dan memperbaharui semangat belajar, akan
tetapi beliau mengartikan bahwa akan menimbulkan kelupaan yang berkepanjangan
terhadap ilmu yang telah dipelajari. Jika terjadi pemutusan hubungan antara
ilmu-ilmu yang dipelajari dalam jangka waktu lama, akhirnya ia tidak dapat
mengkaitkan lagi dengan berbagai ilmu yang telah dipelajari.
Sejalan
dengan pandangan beliau adalah tentang pembahasan mengenai bahasa Arab pada
masa sekarang, dianjurkan agar diajarkan kitab-kitab mutholaah yang menyajikan
topik pembahasan satu macam dalam beberapa pertemuan yang berturut-turut dengan
menggalakkan keinginan untuk menserasikan dan menganalisa isi kitab dengan
mengkaitakn antara satu sama lain ke dalam jiwa anak.
Menurut
Ibnu khaldun ilmu adalah penguasaan dan penguasaan ilmu itu tidaklah keadaannya
tetap dan kuat kemampuannya kecuali dengan mempraktikkan terus menerus atau
mengulang-ulanginya. Jika dalam waktu lama tidak dipraktekkan maka penalaran
akan terlupakan dan guru juga melupakannya, serta kemampuan murid untuk
menguasai mata pelajaran tersebut juga mengalami kepunahan (lenyap)[14].
6.
Tidak
Mencampurkan Antara Dua Ilmu Pengetahuan Dalam Satu Waktu
Ibnu
Khaldun menganjurkan agar guru tidak mengajarkan dua ilmu dalam satu waktu
kepada muridnya karena sebelum memperoleh salah satu ilmu, akan mengakibatkan
terpecahnya konsentrasi pikiran dan melepaskan ilmu yang lainnya untuk memahami
problmatikanya yang lailn. Hal ini mengakibatkan kerugian dan kesulitan. Jika
ia telah menyelesaikan satu ilmu, maka ilmu itu menjadi sarana yang dapat
menciptakan keberhasilan memecahkan dan memahami problema-problemanya.
Pandangan
beliau tersebut menunjukkan bahwa takhassus (spesialisasi) ilmu itu penting;
karena tak mungkin orang menguasai seluruh rahasia ilmu dari sekian banyak ilmu
dan memahami deetail-detailnya tanpa mentuntaskan studi ilmu itu. Begitu juga
pendapat beliau, bahwa tak mungkin mengajarkan anak dengan problema-problema
dari dua macam ilmu yang berbeda (dalam satu waktu berdasarkan alasan yang
telah diuraikan di atas)[15].
7.
Hendaknya Jangan Mengajarkan Al-Qur’an Kepada
Anak Kecuali Setelah Sampai Pada Tingkat Kemampuan Berfikir Tertentu
Ibnu
Khaldun mencela keras kebiasaan yang berlaku pada zamannya, di mana pendidikan
anak tidak didasrkan atas metode yang benar. Karena anak diwajibkan menghafal
Al-Qur’an pada permulaan belajar berdasarkan alasan bahwa Al-Qur’an harus
diajarkan kepada anak sejak dini agar ia dapat menulis dan berbicara dengan
bahasa yang benar, dan al Qur’an depandang mempunyai kelebihan yang dapat
menjaga anak dari perbuatan yang rendah.
Itulah
kepercayaan para pendidik masa itu mereka menerapkan cara-cara mengajarkan
Al-Qur’an dengan mewajibkan anak untuk menghapalnya tanpa mengetahui makna yang
terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Mereka berasumsi bahwa pada waktu
bersamaan menghapalkan Al-Qur’an dengan mewajibkan anak untuk menghapalnya
tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut. Mereka
berasumsi bahwa pada waktu bersamaan menghapalkan Al-Qur’an pada masa
kanak-kanak secara dini akan mengembangkan kemampuan belajar bahasa mereka. Dalam
hal ini beliau mengatakan yang bernada membantah pendapat para pendidik masa
itu dengan argumentasinya sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan yang tidak ada pengaruhnya terhadap bahasa, sebelum anak memahami
artinya, dan merasakan gaya-gaya bahasanya; Juga Al-Qur’an tidak punya pengaruh
lughawi dan maknawi kecuali setelah anak mencapai tingkat tertentu dari kematangan
berfikir (yang memungkinkan ia memahami maknanya).”
Oleh
karena itu, Ibnu Khaldun menganjurkan untuk mengakhirkan (menunda) menghafal
Al-Qur’an sampai umur yang layak, sedangkan pendidikan akhlak beliau tidak
menganjurkan untuk mengakhirkannya dari sinilah nampak jelas bagi kita
perbedaan pendapat antara Ibnu Khaldun dengan pendapat Reausseau, (seorang
pendidik Perancis terkenal dan ahli sosiologi dan filsuf)[16].
8.
Menghindari dari Mengajarkan Ilmu dengan
Ikhtisarnya
Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa di antara faktor yang berakibat buruk dari metode
pengajaran adalah mengikhtisarkan (meringkas) isi buku teks; kebanyakan para
ulama mutaakhirin senang menggunakan metode ini, maka berkembanglah pada masa
itu buku (kitab-kitab) yang berisi ikhtisar dan matan-matannya saja.
Di
antara ulama yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun ialah Ibnu al-Haji yang
meringkaskan fiqih dan usul fiqih sedangkan Ibnu Malik yang mengikhtisarkan
ilmu nahwu yang merusak pengajaran dalam mempelajari ilmu dengan membuang-buang
waktu bagi murid karena harus mengikuti ringkasan kata-kata yang sulit
dimengerti, dan sukar untuk diambil permasalahan dari dalamnya. Hal ini
menghambat jalan keberhasilan dari proses mengajar.
Mengapa
umat mutaakhkhirin (Kontemporer) mau menerima kitab-kitab yang berisi ikhtisar
itu; karena dengan kitab mukhtashar tersebut memudahkan murid-murid mereka
untuk menghapalkannya, akan tetapi mereka dengan cara ini membebani
murid-muridnya dengan banyak kesulitan, yang mana menghalangi usaha
meningkatkan kemampuan-kemampuan kreativitas mereka.
Jika
para tokoh pendidik sekarang menentang ikhtisar ilmu yang ditulis dalam
buku-buku dan melarang untuk dipakai di sekolah-sekolah, maka tantangan
demikian itu bukanlah baru, karena jauh sebelumnya Ibnu Khaldun pernah menentangnya;
sebab buku-buku ikhtisar yang menerangkan ilmu pengetahuan dengan segala
seginya, menurut beliau, dapat melemahkan akal pikiran, dan mengacaukan sistem
berpikir serta membuang-buang waktu belajar murid. Pendidikan modern bersikap
menentang (sebagaimana sikap Ibnu Khaldun) terhadap pola dan metode pendidikan
dengan sistem ikhtisar (ringkasan)[17].
9.
Sangsi Terhadap Murid Merupakan Salah Satu
Motivasi Dorongan Semangat Belajar (Bagi Murid yang Tidak Disiplin)
Ibnu
Khaldun menganjurkan agar bersikap kasih-sayang kepada anak dan tidak
menggunakan kekerasan terhadap mereka, karena sikap kasar atau kekerasan dalam
mengajar membahayakan jasmani anak (atau murid). Jika anak diperlakukan secara
kasar dan keras, menjadi sempit hatinya, dan hilang kecerdasannya, bahkan ia
akan terdorong untuk berdusta, malas, dan berbuat kotor, dan saat itu anak
tidak dapat menyatakan apa yang tergetar dalam hati kecilnya, akhirnya rusaklah
makna kemanusiaan dalam dirinya sejak masa kanak-kanak.
Dalam
hubungan dengan pendapat beliau tentang metode hukum itu, beliau menyatakan:
“Lihatlah kepada bangsa Yahudi bagaimana mereka berakhlak buruk, sehingga
mereka diberi sifat yang dikenal di sembarang ufuk (arah) dan zaman dengan
watak “sempit dada” yang artinya menurut istilah yang terkenal ialah berbuat
busuk dan tipu daya.”
Ibnu
Khaldun menunjukkan bukti-bukti menurut pandangannya yang teliti dan
pemikirannya yang dalam. Bukti-bukti yang diambil dari kejadian yang terjadi di
antara kita dan bangsa Yahudi tentang perbuatan yang banyak dikenal orang
banyak, adalah benar-benar memperkuat watak orang yahudi terutama yang
berpolitik zionisme; Mereka berwatak keji, berkhianat, dan bertipu daya. Sifat-sifat
demikian melahirkan sikap dan perbuatan kekerasan, kerendahan dan kekejaman. Demikianlah
pemikiran pendidikan Imam Ibnu Khaldun, sungguh mengagumkan dan brilian konsep
pendidikan yang ditawarkan Ibnu Khaldun. Signifikansi pemikirannya melintasi
ruang dan waktu.
Satu
hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa
belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan
kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan
menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai
menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan
benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya[18].
“KONSEP PENDIDIKAN MENURUT
PEMIKIRAN SYEIKH MUHAMMAD ABDUH”
A.
Riwayat
Singkat
Dilahirkan
di Manhallat Nash pada tahun 1849 M (Lubis, 1993: 111-112) sebuah dusun di
dekat sungai Nil, propinsi Gharbiyyah-Mesir. Ayahnya seorang petani yang taat
beribadah dan mempunyai dua orang isteri. Muhammad Abduh belajar membaca dan
menulis di rumah. Pada usia dua belas tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an
(Rahnema, 1998: 36).
Ketika berusia tiga belas tahun, Muhammad
Abduh belajar di masjid Ahmadi di Tanta. Masjid ini kedudukannya dianggap nomor
dua setelah universitas Al-Azhar dari segi tempat belajar Al-Qur’an dan
menghafalnya. Sistem pembelajaran dengan menghafal nash (teks) dan ulasan serta
hukum di luar kepala, yang tidak memberi kesempatan untuk memahami, membuat
Muhammad Abduh merasa tidak puas. Dia meninggalkan Masjid dan bertekad untuk
tidak kembali lagi ke kehidupan akademis. Kemudian ia menikah pada usia enam
belas tahun (Rahnema, 1998: 37).
Tak lama kemudian Muhammad Abduh
berjumpa dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr, seorang guru dari tarekat
Syadzily. Dari guru ini Muhammad Abduh mendapat pengajaran tentang disiplin
ilmu etika, moral serta praktek kezuhudan tarekatnya (Rahnema, 1998: 37). Pada
mulanya ia enggan belajar, namun perjumpaannya dengan Syaikh Darwisy sangat
mempengaruhi kehidupannya secara mendalam sehingga dengan bimbingannya semangat
belajarnya kembali berkobar (Fakhry, 1987: 462)
.
- DASAR PEMIKIRAN PENDIDIKAN
Aqidah dan Ibadah
Ide-ide
pembaharuan dalam bidang pendidikan yang diajukan dilatarbelakangi situasi
sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu. Pemikiran statis,
taqlid, bid’ah, dan khurafat menjadi ciri dunia Islam pada saat itu. Demikian
pula halnya yang terjadi di Mesir. Kejumudan telah merambah ke berbagi bidang
dan sistem kehidupan masyarakat. Kejumudan dalam bidang-bidang kehidupan itu
tampak saling terkait dan saling mempengaruhi antara bidang kehidupan yang satu
dengan bidang kehidupan yang lain, terutama bidang akidah terlihat sangat
mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang lain (Lubis, 1993: 152-153).
Program
pembaharuan pendidikan yang diajukannya adalah; memahami dan menggunakan ajaran
Islam dengan benar, sebagai salah satu fondasi utama untuk mewujudkan
kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah-sekoalah modern yang didirikan
oleh misionaris asing, juga mengkritik sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah[19].
Menurutnya, di sekolah-sekolah
misionaris yang didirikan bangsa asing (al-madrasah al-ajnabiyyah) siswa
dipaksa untuk mempelajari kristen, sementara itu di sekolah-sekolah pemerintah,
siswa tidak diajar agama sama sekali (Rahnema, 1998: 97). Sementara
sekolah-sekolah pemerintah tampil dengan kurikulum barat sepenuhnya, tanpa
memasukkan agama ke dalam kurikulumnya, pada sisi yang lain sekolah-sekolah
agama tidak memberikan kurikulum modern (Barat) sama sekali. Pendidikan agama
kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual sama sekali, padahal Islam
mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan aspek jiwa
yang lain. Antara tipe sekolah modern yang dibangun oleh pemerintah dan
misionaris, dengan tipe sekolah agama di mana Al-Azhar sebagai pendidikan
tertingginya, tidak mempunyai hubungan sama sekali antara yang satu dengan yang
lain (Lubis, 1993: 153-154).
Dalam
kitabnya yang berjudul Risalat Al-Tauhid, Muhammad Abduh mengemukakan bahwa,
Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, dan tentang sifat-sifat
yang pasti ada (wajib) padaNya, sifat-sifat yang bisa ada (Ja’iz) padaNya, dan
sifat-sifat yang pasti tidak ada (mustahil) padaNya. Ilmu Tauhid juga membahas
tentang para Rasul untuk mengukuhkan kerasulan mereka, dan sifat-sifat yang
pasti ada (wajib) pada mereka, sifat-sifat yang bisa dinisbatkan kepada mereka
(Ja’iz), serta sifat-sifat yang tidak mungkin dilekatkan (mustahil) pada
mereka. Asal arti tauhid adalah keyakinan bahwa Tuhan (Allah) adalah Maha Esa,
yang tiada sekutu bagiNya.
Ilmu
ini dinamakan Tauhid karena ia merupakan bagian terpenting daripadanya, yaitu
pengukuhan sifat Maha Esa kepada Allah pada esensiNya, dan pada karya-karyaNya
dalam menciptakan seluruh alam. Juga pengukuhan bahwa Dia adalah satu-satunya
tempat kembali semua yang ada, dan penghabisan semua maksud. Usaha ini adalah
tujuan paling agung dari diutusnya Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dibuktikan
oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Lapangan pengabdian manusia sesuai dengan ajaran
Islam menurut Muhammad Abduh terbagi dalam dua kategori, yaitu ibadat dan
mu’amalat. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits mengenai
ibadat bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai
hidup kemasyarakatan (muamalat) hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip
umum yang tidak terperinci, karena itu dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman
(Nasution, 1998: 169). Berkaitan dengan hal ini M. Quraish Shihab dalam bukunya
Rasionalitas Al-Qur’an mengatakan:
“Ajaran
agama, menurut Abduh secara umum terbagai dalam dua bagian, yaitu rinci dan
umum. Yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Tuhan dan NabiNya yang tidak dapat
mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan
perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.” (Shihab, 2006: 23).
Untuk
menyesuaikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum sesuai dengan perkembangan
zaman diperlukan interpretasi baru.
Pintu ijtihad harus dibuka, ijtihad dalam hal ini bukan hanya boleh
dilakukan, bahkan penting dan perlu dilakukan. Namun demikian tidak berarti
semua orang boleh melakukan ijtihad, melainkan hanya mereka yang memenuhi
syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan ijtihad. Yang tidak memenuhi
syarat-syaratnya harus mengikuti pendapat mujtahid yang disetujui fahamnya.
Lapangan
ijtihad sesungguhnya hanyalah soal-soal muamalat. Adapun soal ibadat, karena
ini merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, maka tidak menghendaki perubahan
menurut zaman. Oleh karena itu, ibadat bukanlah lapangan ijtihad untuk
menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Taklid kepada ulama tidak perlu
dipertahankan karena hal ini menjadikan ummat islam tidak dapat maju, bahkan
mengalami kemunduran (Nasution, 1996: 64). Dalam hal ini Muhammad Abduh
mengecam para ulama pada masanya yang mengharuskan masyarakat mengikuti hasil
pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan perbedaan kondisi sosial.
Hal ini akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat, bahkan mendorong mereka
untuk meninggalkan ajaran agamanya. Muhammad Abduh berusaha untuk mengembalikan
ajaran Islam yang murni menurut pandangannya dan menghubungkan ajaran tersebut
dengan kehidupan masa kini (Shihab, 2006: 23-24).
- TUJUAN PENDIDIKAN:
Tujuan
pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan pendidikan yang
luas, yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Aspek
kognitif untuk menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat membedakan antara yang
baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa mudharat. Aspek
afektif untuk menanamkan akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan
pendidikan spiritual diharapkan moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga
sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Dengan tujuan
pendidikan yang demikian, Muhammad Abduh menginginkan terbentuknya
pribadi-pribadi yang utuh, yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang
tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan
spiritual. Ia berkeyakinan jika akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak
agama, maka ummat Islam akan dapat berpacu dengan Barat dalam menemukan ilmu
pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan (Lubis, 1993:
156). Jika di telaah lebih lanjut maka
tujuan pembaharuan pendidikan yang di lakukan muh abduh di mesir ialah :
Muhammad
‘Abduh ada empat agenda pembaruan, terutama di bidang pendidikan Islam, yaitu:
1. Purifikasi : Pemurnian ajaran Islam
mendapat perhatian serius dari Muhammad ‘Abduh berkaitan dengan munculnya
bid'ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim[20].
2. Reformasi : Muhammad ‘Abduh, dalam
mereformasi pendidikan tinggi Islam terkonsentrasi pada universitas
almamaternya, Al-Azhar. Ia menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya
mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu agama untuk
membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari
sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab
kemajuan yang telah mereka capai.
Nurcholish
Majid menjelaskan bahwa usaha awal reformasi Muhammad ‘Abduh adalah
memperjuangkan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar
filsafat, semangat intelektualisme Islam yang hilang diharapkan dapat hidup
kembali.
3. Pembelaan Islam: Muhammad ‘Abduh, melalui
Risalah Tauhid-nya tetap mempertahankan jati diri Islam. Usahanya untuk
menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan
kemandirian Islam. Abduh, terlihat tidak pernah menaruh perhatian pada
paham-paham ateis atau anti agama yang marak di Eropa. Ia lebih tertarik untuk
memperhatikan serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.
4. Reformulasi : Agenda ini dilaksanakan
Abduh dengan membuka kembali pintu ijtihad. Karena menurutnya, kemunduran umat
Islam disebabkan dua faktor: eksternal dan internal, yakni kejumudan umat Islam
sendiri. Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan
akal pikiran manusia dari tidur panjangnya, sebenarnya manusia tercipta dalam keadaan
tidak terkekang, termasuk dalam hal berpikir[21].
Langkah
yang ditempuh Muhammad ‘Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme
pendidikan adalah upaya menyelaraskan dan menyeimbangkan antara porsi pelajaran
agama dengan pelajaran umum. Hal ini dilakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum
kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam
kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik
tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usahanya tersebut,
maka didirikanlah suatu lembaga yakni “Majlis Pendidikan Tinggi”.
Dalam
pandangan Muhammad ‘Abduh, Islam adalah agama yang rasional. Dengan membuka
pintu ijtihad, kebangunan akal akan dapat ditingkatkan. Ilmu pengetahuan harus
dimajukan di kalangan rakyat hingga mereka dapat berlomba dengan masyarakat
Barat. Karena jika Islam ditafsirkan sebaik-baiknya dan difahami secara benar,
tidak satu pun dalam ajaran Islam yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan[22].
3.
KURIKULUM
Muh
Abduh memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang
mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki dan perempuan.
Semuanya harus punya kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.
Semuanya harus mendapat pendidikan agama, yang mengabaikan perbedaan sektarian
dan menyoroti perbedaan antara Kristen dan Islam[23].
Isi
dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang
dikehendaki pelajar. ‘Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapat
pendidikan minimum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka. Kurikulum
sekolah dasar ini harus meliputi: (1) buku ikhtisar doktrin Islam yang berdasarkan ajaran Sunni dan tidak menyebut-nyebut perbedaan sektarian; (2) teks
ringkas yang memaparkan secara garis besar fondasi kehidupan etika dan moral
dan menunjukkan mana yang benar dan yang salah; dan (3) teks ringkas sejarah
hidup Nabi Muhammad, kehidupan shahabat, dan sebab-sebab kejayaan Islam.
Sedangkan untuk sekolah menengah haruslah
mereka yang ingin mempelajari syariat, militer, kedokteran, atau ingin bekerja
ada pemerintah. Kurikulumnya haruslah meliputi, antara lain: (1) buku yang
memberikan pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran; (2) teks
tentang doktrin, yang menyampaikan soal-soal seperti dalil rasional, menentukan
posisi tengah dalam upaya menghindarkan konflik, pembahasan lebih irnci
mengenai perbedaan antara Kristen dan Islam, dan keefektifan doktrin Islam
dalam membentuk kehidupan di dunia dan akherat; (3) teks yang menjelaskan mana
yang benar dan salah, penggunaan nalar dan prinsip-prinsip doktrin; serta (4)
teks sejarah yang meliputi berbagai perkembangan dan penyebaran Islam.
Adapun pendidikan yang lebih tinggi
lagi untuk guru dan kepala sekolah, dengan kurikulum yang lebih lengkap,
mencakup: (1) tafsir al-Qur’an; (2) ilmu bahasa dan bahasa Arab; (3) ilmu
hadis; (4) studi moralitas (etika); (5) prinsip-prinsip fiqh; (6) seni
berbicara dan meyakinkan; dan (7) teologi dan pemahaman doktrin secara
rasional.[16]
Melalui
pemahaman yang ditularkan oleh Muhammad Abduh ini, mahasiswa mulai mempunyai
pandangan yang mendalam tentang permainan politik asing yang mewarnai politik
Mesir. Akibatnya, mahasiswa mulai kritis dan ikut serta dalam memonitoring
kegiatan politik Mesir. Usaha pembaharuan Muhammad Abduh mengalami kegagalan
terutama usahanya menghilangkan dikotomi pendidikan, setelah al-Khudaywi Abbas
berbalik menolak upaya perbaikan terhadap al-Azhar dan mendukung orang-orang
yang kontra dengan Muhammad Abduh. Syekh Muhammad Abduh akhirnya dipecat dari
kepanitiaan tersebut ,dan al-Azhar pun kembali kepada keadaan semula, dengan
kurikulum lama. Kurikulum tersebut ialah:
1) Kurikulum al-Azhar
Kurikulum
perguruan tinggi al-Azhar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada saat
itu. Dalam hal ini, ia memasukkan ilmu filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan
modern ke dalam kurikulum al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat
menjadi ulama modern.
2) Tingkat sekolah dasar
Abduh
beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa hendaknya dimulai semenjak
kanak-kanak. Dengan memasukkan mata pelajaran agama sebagai inti semua
pelajaran yang nantinya dapat memiliki jiwa kepribadian muslim. Jiwa
kebersamaan dan nasionalisme yang dapat mengembangkan sikap hidup yang lebih baik,
serta dapat meraih kemajuan.
3) Tingkat atas
Upaya
ini dilakukan dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan
ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian,
dan sebagainya.
Ketiga
paket di atas, merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama yang
diberikan dalam setiap tingkat. Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak memasukkan
ilmu-ilmu barat ke dalam kurikulum yang direncanakan. Dengan demikian dalam
bidang pendidikan formal muhammad abduh menekankan pemberian pengetahuan yang
pokok, yaitu fikih, sejarah islam, akhlak, dan bahasa.
4.
METODE
:
Dalam metode pengajaran, Muhammad
Abduh membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengkritik tajam
metode yang hanya menonjolkan hafalan tanpa pemahaman yang pada umumnya diterapkan di
sekolah-sekolah. Walaupun tidak menjelaskan dalam tulisan-tilisannya, dari apa
yang dipraktekkan ketika mengajar di Al-Azhar, tampaklah bahwa ia menerapkan
metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid. Ia
menekankan pentingnya memberikan pengertian dalam setiap pelajaran yang
diberikan, dan memperingatkan para pendidik agar tidak menonjolkan hafalan,
karena metode yang demikian menurutnya hanya akan merusak daya nalar (Lubis,
1993: 159-160).
Muhammad
Abduh adalah tokoh utama corak penafsiran adabi ijtima’i, yaitu corak
penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi
ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alqur’an bagi kehidupan, serta
menghubungkan ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin
ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan. Adapun ciri-ciri
penafsiran Muhammad Abduh adalah:
a. Memandang setiap surat sebagai satu kesatuan
ayat-ayat yang serasi; pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat
dengan tujuan surat secara keseluruhan.
b. Ayat Al-Qur’an bersifat umum; petunjuk
ayat-ayat Al-Qur’an berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak
hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu.
c. Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum.
d. Penggunaan akal secara luas dalam memahami
ayat-ayat Al-qur’an (Shihab, 2006: 24-32).
KONSEP PENDIDIKAN MENURUT KH.
HASYIM ASY’ARI
A. Riwayat
Singkat
K.H.
Hasyim Asy’ari merupakan salah seorang sosok yang tumbuh dewasa dan
menghabiskan waktu hidupnya di pondok pesantren. Pendidikan pesantren yang
begitu telah khas yang membesarkannya menjadi sosok alim dalam hal keagamaan,
juga mempunyai concern terhadap pemberdayaan umat. K.H. Hasyim Asy’ari
dilahirkan pada hari selasa kliwon tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 H bertepatan
dengan tanggal 14 Februari 1871 M. kutipan (Solikah; 2012; 73) dari kitab Adab
A’lim Wa Muta’allim karangan K.H. Hasyim Asy’ari.
Berdasarkan
kutipan (Samsul Nizar; 2011; 335) dari Kitab Adab A’lim Wa Muta’allim karangan
K.H. Hasyim Asy’ari bahwa nama lengkap Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim
Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim yang mempunyai gelar pengeran Bona bin
Abdur Rahman yang dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir Sultan Hadiwijaya bin
Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishal dari Raden Ainul
Yakin yang disebut dengan Sunan Giri.
Adapun
guru pertama K.H. Hasyim Asy’ari adalah ayahnya sendiri. beliaulah yang mengajar dan mendidiknya dengan tekun
sehingga hasyim asy’ari dapat membaca al-qur’an dan literatur-literatur islam lainnya. Setelah mulai mahir membaca
al-qur’an baru beliau di masukkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu
pesantren. Pada awalnya, ia menjadi santri di Pesantren Wonokojo di
Probolinggo, kemudian pindah ke Pesantren Langitan,Tuban. Dari pondok inilah santri yang cerdas
tersebut berpindah lagi ke Bangkalan, yaitu di sebuah pesantren yang diasuh
oleh Kyai Kholil. Terakhir-sebelum belajar ke makkah- ia sempat nyantri di
Pesantren Sewalan Panji, Sidoarjo. Pada pesantren ini yang terakhir inilah ia
diambil sebagai menantu oleh Kyai Ya’kub, pengasuh pesantren tersebut.
Sebagaimana
santri pada umumnya, K.H. Hasyim Asy’ari senang belajar di pesantren sejak
masih belia. Sebelum umur delapan tahun Kiai Usman sangat memperhatikannya.
Kemuadian pada tahun 1876 ia meninggalkan kakeknya tercinta dan memulai
pelajarannya yang baru di pesantren orang tuanya sendiri di Desa Keras,
tepatnya di bagian selatan Jombang[24].(Lathiful
Khuluq ; 2000 ; 14-15)
Pada
tahun 1892 K.H. Hasyim Asy’ari menikah dengan khadijah, putri Kyai Ya’kub.
Tidak berapa lama menikah beliau beserta istri dan mertuanya berangkat haji ke
Makkah yang dilanjutkan dengan belajar di sana. Akan tetapi, setelah istrinya
meninggal setelah melahirkan, disusul kemudian putranya, menyebabkannya kembali
lagi ke tanah air. Tidak berapa lama kemudian, ia berangkat lagi ke tanah suci,
tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga untuk belajar kepada
beberapa ulama terkenal seperti Syekh Ahmad Amin Al-aththar, Sayyid Sultan bin
Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan Al-aththar, Syekh Sayyid Yamay, Sayyid Alawi bin
Ahmad Al-saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah Az-zawawy, Syekh Shaleh
Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Setelah
lebih kurang tujuh tahun belajar di Makkah, pada tahun 1899/1900, ia kembali ke
Indonesia dan mengajar di pesantren ayahnya, baru kemudian mendirikan pesantren
sendiri di daerah sekitar Cukir, Pesantren Tebu Ireng, pada tanggal 6 Februari
1906. Dari pesantren inilah banyak timbul ulama-ulama untuk wilayah jawa dan
sekitarnya.
Pada
awal karir, K.H. Hasyim Asy’ari bukanlah seorang aktivis politik juga dan bukan
musuh utama penjajahan belanda. Beliau ketika itu belum peduli untuk
menyebarkan ide-ide politik dan umumnya tidak keberatan dengan kebijakan
belanda selama tidak membahayakan keberlangsungan ajaran-ajaran islam. Dalam
kaitan ini, beliau tidaklah seperti H.O.S. Cokroaminoto dan Haji Agus Salim,
pemimpin utama syarikat islam, atau Ir. Soekarno, pendiri Partai Nasional Indonesia
dan kemudian menjadi presiden pertama Indonesia, yang memfokuskan diri pada
isu-isu politik dan bergerak terbuka selama beberapa tahun untuk kemerdekaan
Indonesia. Meskipun demikian, K.H. Hasyim Asy’ari dapat dianggap sebagai
pemimpin bagi sejumlah tokoh politik dan sebagai tokoh pendiri Nahdlatu Ulama’.
- Dasar Pendidikan
Beliau
menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu
dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk
kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam
menuntut ilmu, yaitu : Pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam
menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan
melecehkannya atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu
hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata.
Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh
pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi
siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan
lurus”.
Belajar
menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang
mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya
belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam,
bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.
Pendidikan
hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta
melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi
penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi
oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma
Islam.
Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1)
Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
-
Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
-
Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah
-
Pandai mengatur waktu
-
Menyederhanakan makan dan minum
-
Berhati-hati (wara’)
-
Menghindari kemalasan
-
Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
-
Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah[25].
Dalam
hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada pendidikan
ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap
diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya.
Makan dan minum tidak perlu terlalu banyak dan sederhana, seperti anjuran
Rasulullah Muhammad saw. Serta jangan banyak tidur, dan jangan suka
bermalas-malasan. Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan,
isi hari-hari dan waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
- Tujuan Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari
Tujuan
pendidikan yang ideal menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah untuk membentuk
masyarakat yang beretika tinggi (akhlaqul karimah). rumusan ini secara implisit
dapat terbaca dari beberapa hadits dan pendapat ulama yang dikutipnya. Beliau
menyetir sebuah hadits yang berbunyi:
“diriwayatkan dari Aisyah r.a. dari
Rasulullah SAW bersabda : kewajiban orang tua terhadapnya adalah membaguskan
namanya, membaguskan ibu susuannya dan membaguskan etikanya”.
- Kurikulum Pendidikan
Perubahan sistem pendidikan di pesantren
ini pertama kali diadakan Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1919, yaitu dengan
penerapan sistem madrasi (klasikal) dengan mendirikan Madrasah Salafiyah
Syafi’iyah. Sistem pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua tingkat,
yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani. Pada tahun 1929 KH.Hasyim Asy’ari menunjuk
KH.Ilyas menjadi kepala Madrasah Salafiyah.Dengan demikian, KH.Ilyas dapat
melaksanakan hasratnya untuk memperbaharui keadaan dalam pesantren Tebuireng
menurut cita-cita pendirinya KH. Hasyim Asy’ari.
Maka
dibawah pimpinan KH. Ilyas dimasukkan pengetahuan umum ke dalam Madrasah
Salafiah, yaitu:
a. Membaca dan menulis huruf latin
b. Mempelajari bahasa Indonesia
c. Mempelajari ilmu bumi dan sejarah
Indonesia
d. Mempelajari ilmu berhitung.
Semenjak
saat itulah surat-surat kabar masuk ke dalam pesantren, dan mulai dikenal dan
mulai dibaca oleh Kyai dan para pelajar. Begitu pula dengan huruf latin dalam
bahasa Indonesia. Sebelumnya, hal tersebut dipandang barang duniawi yang tidak
sesuai dengan kehendak agama. Sebab itu sebagian orang tua murid tidak
mengizinkan anaknya mempelajari ilmu-ilmu umum itu, sehingga timbullah reaksi
besar dari setengah Kyai dan orang-orang tua murid yang memerintahkan anaknya
pindah ke pesantren lain. Tetapi KH. Ilyas meneruskan rencananya.
Hasil
usaha perbaikan ini dapat diketahui dan dirasakan sesudah berpuluh tahun
kemudian, yaitu dalam masa pendudukan Jepang yang melarang surat menyurat
selain dalam huruf latin. Pada masa itu banyak Kyai keluaran Tebuireng yang tertolong,
karena mengetahui menulis dan membaca huruf latin. Begitu juga banyak mereka
yang terpilih menjadi anggota Sang Kyai (Dewan Permusyaratan Kerasidenan),
karena mereka mengerti pengetahuan umum dan pandai dalam bahasa Indonesia, di
samping pengetahuan keagamaan[26].
- Metode Pengajaran
Menurut
Lathiful Khuluq KH. Hasyim Asy’ari menggunakan metode diskusi bagi para alumni
yang juga diikuti para santri. Ia juga menerima metode pengajaran baru yang
ditawarkan oleh para Kyai dan guru dipesantrennya, meskipun ia sendiri masih
menggunakan satu metode pengajaran sebagaimana kebanyakan Kyai yang lain[27].
metode sorogan (santri membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning di hadapan
guru), serta metode weton atau bandongan atau halqah (kyai membaca kitab dan
santri memberi makna). Semua bentuk pengajaran tersebut tidak dibedakan dalam
jenjang kelas. Kenaikan tingkat pendidikan dinyatakan dengan bergantinya kitab
yang khatam (selesai) dikaji dan diikuti santri. Materi pelajarannya pun khusus
berkisar tentang pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at dan bahasa Arab.
KONSEP PENDIDIKAN MENURUT
PEMIKIRAN KH. AHMAD DAHLAN
- Riwayat Singkat
Menurut
KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola
berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui
pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam
proses pembangunan uamt.Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep
pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi :
- Dasar Pendidikan
Sebagaimana
yang telah kita ketahui Kh. Ahmad dahlan merupakan tokoh bahkan pendiri
organisasi islam muhammadiyah[28]. Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di
Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan Barat. Pandangan Ahmad
Dahlan, ada problem mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan
umat Islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Menurut Syamsul Nizar,
dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem tersebut
berkaitan dengan proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan.
Pertama,
dalam proses belajar-mengajar, sistem yang dipakai masih menggunakan sorogan
(khalaqah), ustadz/kiyai dianggap sebagai sumber kebenaran yang tidak boleh
dikritisi. Kondisi ini membuat pengajaran nampak tidak demokratis.
Fasilitas-fasilitas modern yang sebenarnya baik untuk digunakan dilarang untuk
dipakai karena menyamai orang kafir.
Kedua,
materi dan kurikulum yang disajikan masih berkisar pada studi Islam klasik,
misalnya, fikih, tasawuf, tauhid, dan sejenisnya. Ilmu-ilmu itu wajib syar'i
untuk dipelajari. Sementara ilmu modern tidak diajarkan karena ilmu itu
termasuk ilmu Barat yang haram hukumnya bagi orang Islam untuk mempelajarinya.
Ilmu-ilmu selain studi Islam klasik tersebut dianggap bukan ilmu Islam. Padahal
kalau diteliti, ilmu-ilmu yang berkembang di Barat itu merupakan pengembangan
lebih lanjut dari ilmu yang sudah dikembangkan oleh umat Islam pada zaman
keemasan Islam.
Ketiga,
pendidikan modern hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di dunia Barat.
Metode pengajaran sudah menggunakan metode modern. Pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda ini tidak diajarkan ilmu-ilmu
keislaman. Kebanyakan siswa yang bisa masuk dalam pendidikan ala Barat ini
adalah orang-orang priyayi atau pegawai pemerintah Belanda.
Dari
realitas pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode
sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan
pesantren. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad
Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi
saat itu. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman
dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi
nama al-Qism al-Arqam yang kelak menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan
Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Di mana dalam spectrum Visi perjuangan
organisasi muhammadiyah ingin mengembalikan agama islam sesuai dengan Al-qur’an
dan Al-hadist[29]
.
- Tujuan Pendidikan
Dalam
buku lain Menurut dahlan,pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha
membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur,alim dalam agama, luas pandangan
dan paham masalah ilmu keduniaan serta berjuang untuk kemajuan
masyarakatnya.hal ini berarti bahwa pendidikan islam merupakan upaya pembinaan
pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai abdi maupun khalifah di
dunia. Untuk mencapai tujuan ini proses pendidikan islam hendaknya
mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum ataupun agama, untuk
mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik.
Upaya akan tereliasasi manakala proses pendidikan bersifat integral proses
pendidikan yang demikian pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni
“intelektualisasi ulama”dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah[30].
Tujuan
pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling
bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah
model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk
menciptakan individu yang shalih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya,
pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya
tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah
dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak
menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak
menguasai ilmu agama.
Melihat
ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu
umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan
kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan
hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan
mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama Sesungguhnya Dahlan
mencoba menggugat praktik pendidikan islam pada masanya. Pada waktu itu,
pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan
sosialisasi perilaku individu maupun sosial yang telah menjadi model baku dalam
masyarakat.
Pendidikan
tidak memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berkreasi dan mengambil
prakarsa.kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan
searah dan tidak bersifat dialogis. Padahal menurut dahlan, pengembangan daya
kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan
strategi bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi dan batasan ini
terlihat bahwa dahlan ingin meletakkan visi dasar bagi reformasi pendidikan
islam melalui penggabungan sistem pendidikan modern dan tradisional secara
harmonis dan integral[31].
- Kurikulum Pendidikan
Menurut
Dahlan, materi pendidikan adalah pengajaran Al-Qur’an dan Hadits, membaca,
menulis, berhitung, Ilmu bumi, dan menggambar. Materi Al-Qur’an dan Hadits
meliputi; Ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan
nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an dan Hadits menurut akal,
kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas
perubahan, nafsu dan kehendak, Demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan
berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi
pekerti)[32].
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha
menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seperti firmannya dalam al-qur’an
ياايهاالذين
امنوااذاقيل لكم تفسّحوافي المجالس فافسحوايفسح الله لكم واذا قيل انشزوفا نشزوا يرفع
الله الذين امنوا منكم والّذين اوتواالعلم درجات والله بما تعملون حبير(المجادلة
11)
ayat
tersebut memiliki beberapa kandungan diantaranya
Seseorang yang mencari ilmu harus mengepankan
tatakrama dan kesopanan dalam menimba ilmu yang disertahi dengan kepatuhan dan
ketundukan kepada pendidiknya
Manusia
akan memiliki derajat yang tinggi disisi tuhannya jikalau beriman dan memiliki
ilmu pengetahuan[33].
b.
Pendidikan individu, yaitu sebagai
usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan
antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta
antara dunia dengan akhirat.
c.
Pendidikan kemasyarakatan yaitu
sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat[34].
Juga
disebutkan dalam buku lain, dalam memperkaya ide pembaharuannya, ia berkunjung
ketempat Rasyid Ridha, pada kunjungannya
tersebut Dahlan menyempatkan diri bertemu dan berdiskusi dengan Rasyid Ridha.
Bias dari kontak intelektual ini dapat dilihat dari dinamika intelektualnya.
Bias tersebut antara lain; pertama, menjadikan pemahamannya tentang ajaran
islam semakin mendalam dan komprehensif. Kedua, kecenderungan yang hanya
mempelajari kitab-kitab para ulama mulai bergeser kearah pencarian dan
penelaahan secara mendalam langsung dari sumber aslinya, Al-quran dan sunnah.
Ketiga, bangkitnya semangat unutk memurnikan kembali ajaran dan pemahaman ummat
tehadap ajaran islam sesuai dengan Al-quran dan Sunnah Rasulullah.
Secara
umum ide-ide pembaharuan Dahlan dapat di klasifikasi kepada dua dimensi, yaitu;
pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran islam dari kurafat, tahayul
dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat islam.
Kedua, mengajak umat islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional
melalui reinterpretasi terhadap doktrin islam yang dapat diterima oleh rasio[35].
- Metode Pengajaran
Di
dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahmad dahlan tidak menggunakan
pendekatan yang rumit beliau menggunakan model pembelajaran kontekstual dan
sintesis pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa maksud sintesis yang
utama adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun
suatu pandangan dunia. Dalam perspektif lain “sintesis” merupakan kemampuan
seseorang dalam mengaitkan dan menyatakan berbagai elemen dan unsur pengetahuan
yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh.
- Model pembelajaran CTL (kontekstual Teaching Learning)
Hal
ini karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara
kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Adapun perbedaan
model belajar yang digunakan antara pendidikan di pesantren dengan pendidikan
yang diajarka oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
a. Cara belajar-mengajar di pesantren
menggunakan sistem Weton dan Sorogan, madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan
menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
b. Bahan pelajaran di pesantren mengambil
kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan bahan
pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c. Hubungan antara guru-murid, di pesantren
hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki
otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah yang dibangun Ahmad
Dahlan mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab[36].
Metode Pengajaran Dialogis
Inisiatif
Disini
peserta didik di biasakan untuk mengungkapkan pemikiran pemikiran nya dengan
saling berkomunikasi antara satu sama lain agar mengembangkan daya nalar dan
daya kritis peserta didik pada suatu permasalahan atau materi pelajaran. Di
karenakan hanya mengandalkan hafalan maka potensi kemampuan peserta didik tidak
akan tercapai.
“KONSEP PENDIDIKAN MENURUT BUYA
HAMKA”
A.
Riwayat
Singkat
Hamka
adalah singkatan nama dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo. Ia
lahir di Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat, pada tanggal 16 Februari 1908 M
bertepatan dengan tanggal 13 Muharram 1326 H. Lahir dari pasangan Haji Abdul
Karim Amrullah dan Shafiyah Tanjung, sebuah keluarga yang taat beragama.
Ayahnya adalah seorang ulama besar dan pembawa paham-paham pembaruan Islam di
Minangkabau. Ia meninggal pada tanggal 22 Juli 1981 di Rumah Sakit Pertamina
Jakarta dalam usia 72 tahun[37].
- DASAR PEMIKIRAN
Pentingnya
manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka, bukan hanya untuk membantu
manusia memperoleh penghidupan yang layak, tetapi lebih dari itu, dengan ilmu
manusia akan mampu mengenal tuhannya, memperluas akhlaknya, dan berupaya
mencari keridhaan Allah. Hanya dengan bentuk pendidikan yang demikian, manusia
akan memperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya.
Ini
berarti pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi menjadi dua bagian[38];
pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan
kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan ruhani,
yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang didasarkan kepada ilmu. Kedua unsur tersebut memiliki
kecenderungan untuk berkembang, dan untuk menumbuhkembangkan keduanya adalah
melalui pendidikan karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam
menentukan perkembangan secara optimal
kedua unsur tersebut. Dalam pandangan Islam, kedua unsur dasar tesebut
dikenal dengan istilah fitrah.
Menurut
Hamka, fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat
kebajikan dan tunduk mengabdi pada khaliqnya. Jika ada manusia yang tidak
berbuat kebajikan, maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari fitrah tersebut.
Menurutnya, pada diri manusia, terdapat tiga unsur utama yang dapat menopang
tugasya sebagai khalifah fil ard maupun ‘abd Allah.
Ketiga
unsur tersebut adalah akal, hati dan pancaindra yang terdapat pada jasad
manusia. Perpaduan unsur tersebut membantu manusia memperoleh ilmu pengetahuan
dan membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap
tanda-tanda kebesaran Allah[39].
Dengan pendidikan, manusia akan dapat mempertajam fitrah akal dan mengontrol
nafsunya. Proses ini selanjutnya akan membantu manusia (khususnya peserta
didik) mampu mempertimbangkan perbuatannya dengan nilai baik dan buruk secara
bertanggungjawab. Manusia hanya bisa menata kehidupan dan peradabannya apabila
didukung dengan pendidikan yang baik.
Pentingnya
pendidikan bagi manusia bukan hanya bagi pemenuhan kepentingan internal sebagai
mahluk yang dinamis, akan tetapi juga bagi kepentingan eksternal, yaitu
tertanya peradaban umat manusia secara kaffah dan harmonis. Untuk itu
eksisitensi pendidikan merupakan suatu kemestian dan hajat hidup bagi setiap
manusia. Melalui pendidikan manusia mampu menciptakan peradaban yang tinggi dan
mengenal eksisitensi dirinya, baik sebagai mahluk individu, sosial, maupun
bertuhan[40].
Titik
sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah “fitrah pendidikan tidak
saja pada penalaran semata, tetapi juga akhlakulkarimah”. Pendidikan Menurut
Hamka Ada tiga term yang digunakan para ahli untuk menunjukkan istilah
pendidikan Islam:
1.
Ta’lim:Aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam
hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
2.
Tarbiyah:Pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni
pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi.
3.
Ta’dib: Penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan
kemantapan amal dan tingkah laku yang baik.
Dari
ketiganya Hamka lebih condong dalam istilah Tarbiyah, karena menurutnya
tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai
pendidikan Islam, baik vertikal maupun horizontal (hubungan ketuhanan dan
kemanusiaan).Adapun prosesnya adalah pemeliharaan dan pengembangan seluruh
potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Pandangan
Hamka mengenai Tarbiyah:
1).
Menjaga dan memelihara per-tumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk
mencapai kedewasaan.
2).
Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana
pendukung (terutama bagi akal dan budinya).
3).
Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan
kesempurnaan seoptimal mungkin.
4).
Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan
irama perkembangan diri peserta didik.
Menurut
Hamka, proses pendidikan tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat
material belaka. Pendekatan yang demikian itu tidak akan dapat membawa manusia
kepada kepuasan batin (rohani). Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
dapat mengintegralkan potensi fitrah-Nya yang tinggi dengan potensi akal
pikiran, perasaan dan sifat-sifat kemanusiaannya yang lain secara serasi dan
seimbang. Hamka memaknai manusia sebagai khalifah fil-ardh, sebagai makhluk
yang telah diberikan Allah potensi akal sebagai sarana untuk mengetahui
hukum-Nya.
Menyingkap
rahasia alam dan memanfaatkannya bagi kemaslahatan umat manusia.Menurut Hamka,
melalui akalnya manusia dapat menciptakan peradabannya dengan lebih baik.
Fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Ar-ruum ayat 30
menegaskan:
“Hadapkan
dengan seluruh dirimu itu kepada Agama (islam) sebagaimana engkau adalah hanif
(secara kodrat memihak pada kebenaran): itulah fitroh Tuhan yang telah
memfitrohkan (mempotensikan) manusia padanya.”
Disamping
itu Fungsi pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan
kepribadian peserta didik, akan tetapi juga proses sosialisasi peserta didik
dengan lingkungan di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan
proses penanaman nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik
untuk menyatakan pikiran serta mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata
lain pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi ajaran Islam dari generasi
ke generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak saja aspek kognitif
pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik
(menyangkut bagaimana sikap dan pengamalan ajaran Islam secara kaffah).
Hamka
juga menekankan pentingnya pendidikan jasmani dan rohani (jiwa yang diwarnai
oleh roh agama dan dinamika intelektual) yang seimbang. Integralitas kedua
aspek tersebut akan membantu keseimbangan dan kesempurnaan fitrah peserta
didik. Hal ini disebabkan karena esensi pendidikan Islam berupaya melatih
perasaan peserta didik sesuai dengan fitrah-Nya yang dianugrehkan kepada setiap
manusia, sehingga akan tercermin dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan
pendekatan mereka terhadap semua jenis dan bentuk pengetahuan dipengaruhi
nilai-nilai ajaran Islam.
- TUJUAN PENDIDIKAN
Adapun
tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi; bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai
tujuan tersebut, manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu
beribadah. Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan
agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah.
Dengan
demikian, tujuan pendidikan Islam,
menurut Hamka, sama dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yaitu
untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Ia mengatakan bahwa ibadah adalah
“mengakui diri sebagai budak atau hamba Allah, tunduk kepada kemauan-Nya, baik
secara sukarela maupun terpaksa[41].”
- KURIKULUM
Menurut
Hamka, untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka
eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian untuk diajarkan,
meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dalam dataran operasional
prosesnya tidak hanya dilakukan sebatas transfer of knowledge, akan tetapi jauh
lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu
sikap yang baik (akhlak al-karimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang
dimilikinya.Maka dari itu beliau meberikan kurikulum yang menekankan kepada
ajaran agama dengan mengintegrasi matapelajaran umum. Pada awal abad ke-20
sistem pendidikan Islam masih bersifat tradisional.
Kurikulum
pendidikan masih tradisional , yang berkisar pada al-Quran dan pengajian kitab,
yang meliputi Ilmu Nahwu Sharaf, Fiqih, Tafsir dan lainnya, yang hanya terpaku
disitu saja. Kurikulum pendidikan yang demikian dipandang kurang memadai dan
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman , sehingga tergerak hati Hamka dan
kawan-kawannya yang sepaham untuk mengadakan pembaharuan kurikulum
pendidikannya lebih dikembangkan dan kitab[-kitab yang digunakan juga tidak
terpaku pada satu kitab saja. Sebagai rencana pelajaran yang merupakan bentuk
usaha peningkatan pendidikan, kurikulum terdiri dari 4 kelompok yaitu:
1. Agama, yang mencakup :
a. Tafsir Al Quran
b. Hadits & Mushtkahah Hadits
c. Fiqih dan Ushul fiqih
d. Tauhid Islam
e. Tarikh Tasyri’ Islamy
f. Tauhid / Ilmu Kalam
g. Akhlak dan tasawuf
2. Bahasa, dengan kajian :
a.
Bahasa Arab dengan alat-alatnya ,yakni Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma’ani, Bayan,
Mantiq (logika), Insya’, Tarjamah, Muhawarah, Khithabah dan Khath.
b. Bahasa Belanda
c. Bahasa Inggris
3. Pengetahuan Umum, meliputi :
a. Berhitung / Aljabar
b. Ilmu Ukur (Handasah)
c. Ilmu Bumi (Geografi)
d. Ilmu Alam
e. Ilmu Hayat (Hewan & Tumbuh-tumbuhan)
f. Sejarah umum dan tanah air
g. Ilmu Falak
4. Keguruan/Dakwah dan Kepemimpinan
a. Iilmu mengajar dan mendidik ( At
Tarbiyah watta’lim)
b. Ilmu Jiwa Umum dan Ilmu Jiwa Anak
c. Muqaranah Al Adyan ( Perbandingan Agama)
d. Organisasi dan Administrasi Muhamadiyah
e. Muhadharah atau pidato
- METODE
Pertama
Menurut Hamka metode secara umum diantaranya:
a. Diskusi,proses bertukar pikiran antara
dua belah pihak, proses ini bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog
dengan penuh keterbukaan dan persaudaraan.
b. Karya wisata mengajak anak mengenal
lingkungannya, dengan ini sang anak akan memperoleh pengalaman langsung serta
kepekaan terhadap sosial.
c. Resitasi, memberikan tugas seperti
menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak didik
memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya
.
Adapun yang Kedua, metode Islami, di
antaranya:
a. Amar ma’ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat
baik dan mencegah berbua jahat.
Bertujuan agar tulus hati dalam memperjuangkan kebenaran dan menjadikan
pergaulan hidup lebih sentosa.
b. Observasi, memberikan penjelasan dan
pemahaman materi pada peserta didik. Metode ini digunakan agar peserta didik
lebih mengenal Tuhannya[42].
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Susanto,. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2009
Al-Abrasyi,
Muhammad Athiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terjemah: Syamsudin
Asyrofi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1996.
Asma
Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendididkan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang,1979).
Amir
Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam ( Jember :
Mutiara Offset, 1985
Delias
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm 85
Hasan,
M. Tholhah, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora
Press. 2 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), Cet. IX,006.
Hasan
Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009)
Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2011.
Jamil
Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka firdaus, 2003, hlm. 503
Kurniawan,
Samsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Khairul
Fathoni, Muhammad Zen, NU Pasca Khittah, Porspek Ukhuwah Dengan Muhammadiyah,
(Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992).
Lathiful
Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS,
2000).
Muhammad
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Perspektif Sosiologis
Filosofis, terjemah: Mahmud Arif (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2002),
Mohammad,
Herry. 2006. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani
Maksum
Machfoedz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, (Surabaya: Yayasan Kesatuan
Umat, 1982).
Nata,
Abudin Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos. 1999.
Ridla,
Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Perspektif Sosiologis
Filosofis, terjemah: Mahmud Arif, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2002.
Ramayulis
dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT.
Ciputat Press Group.
Sheikh,
M. Seed, Studies in Muslim Philoshophy, Delhi: Adam Publisher. 1994.
Sulaiman,
Fathiyyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan,
Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002).
Suwendi,
Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004)erjemah:Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro. 1987).
Suwito
dan Fauzan.2003 Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa
Toto
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014)
[1]
“Lihat, “Seratus Muslim Terkemuka”, Karya Jamil Ahmad, Pustaka firdaus, 2003,
hlm. 503
[2]
Lihat, “http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_khaldun diunduh pada tgl 12/17/2015
pukul 09:48
[3]
Lihat, “Studies in Muslim Philoshophy”,
Karya M. Seed Sheikh, (Delhi: Adam
Publisher. 1994), halm 185.
[4]
Lihat, “Muqaddimah”, Karya Ibnu
Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha (Jakarta:
Pustaka Firdaus), halm 532
[5]
Ibid
[6] Ibid,
525-526
[7]
Lihat, “Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, Karya Fathiyyah
Hasan Sulaiman, terjemah: Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro. 1987), halm 13.
[8]
Lihat “Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Perspektif Sosiologis Filosofis”, Karya
Muhammad Jawwad Ridla terjemah: Mahmud Arif (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
2002), halm 173.
[9]
Lihat “ Perbandingan Pendidikan Islam”, Karya Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh
at-Tuwānisi Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 199-200.
[10]
Ibid
[11]
Ibid
[12]
Ibid
[13]
Ibid
[14]
Ibid
[15]
Ibid
[16]
Ibid
[17]
Ibid
[18]
Lihat “http://www.kompasiana.com/inimanatun/pemikiran-ibnu-khaldun-perspektif-filsafat-pendidikan-islam_diunduh
pada tgl 17/12/2015
[19]
Lihat “Muhammad ‘Abduh: Perintis Pembaruan Islam”, Karya
Yvonne Haddad, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman baru Islam
(Bandung: Mizan, 1998) Cet. III, hlm. 36.
[20]
Lihat “Filsafat Pendidikan Islam”, Karya Toto Suharto, (Yogyakarta: Arruzz,
2006), hal. 258
[21]
Lihat “Pembaharuan dalam Islam”,
Karya Harun Nasution,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. IX, hlm. 59.
[22]
Lihat “Al-Islam Baina al-Din wa
al-Madaniyyah”, Karya Muhammad ‘Abduh, (Mesir: Haiat al-Mishriyyah
al-’Ammah lil-Kitab, 1993). hlm. 164.
[23] Lihat “Muhammad ‘Abduh: Perintis Pembaruan Islam”,
Karya Yvonne Haddad, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman baru Islam
(Bandung: Mizan, 1998) Cet. III, hlm. 46.
[24]
Lihat “Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, Karya Lathiful Khuluq, (Yogyakarta: LKIS, 2000).
[25]
Lihat “ Filsafat Pendidikan Islam”, Karya Samsul Nizar (Jakarta: Ciputat Press,
2002,) hlm 158.
[26]
Ibid hlm 159
[27]
Ibid hlm 161
[28] Lihat
“Sejarah Pendidikan islam” karya Dra.Zuhairini dkk,Bumi aksara,Jakarta,2013,hal
172
[29]
Lihat “Sejarah Pendidikan Islam di indonesia” karya, Prof.H.Mahmud
Yunus,Mutiara,Jakarta,1979,hal 269
[30]
Lihat “Filsafat Pendidikan Islam”, Karya Hasan Basri, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hlm: 234
[31]
Lihat “Filsafat Pendidikan Islam”, Karya Toto Suharto, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz,
2006), hlm: 293
[32]
Lihat “Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam”, Karya Amir Hamzah
Wirjosukarto, ( Jember : Mutiara Offset,
1985
[33]
Lihat “Filsafat Pendidikan Islam, Karya Hasan Basri, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hlm: 235
[34]
Lihat “Gerakan Modern Islam di Indonesia”, Karya Delias Noer, (Jakarta: LP3ES,
1985), hlm 85
[35]
Lihat “Filsafat Pendidikan Islam”, Karya Syamsul Nizar, (Jakarta: Ciputat
Pers,2002), hlm: 107
[36]
Lihat “Filsafat Pendidikan Islam”, Karya Syamsul Nizar, (Jakarta: Ciputat Pers,2002), hlm: 107
[37]
Lihat “Pemikiran Pendidikan Islam”, Karya Ahmad Susanto (Jakarta: Amzah, 2009),
hlm. 100
[38]
Lihat “Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20”, Karya Herry Mohammad, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 60-62
[39]
Ibid 103
[40]
Ibid 105-106
[41]
Lihat “Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam”, Karya Syamsul Kurniawan dan
Erwin Mahrus, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), hlm. 230-231
[42]
Lihat “Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam”, Karya Syamsul Kurniawan dan Erwin
Mahrus . (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
0 komentar:
Posting Komentar