PEMIKIRAN
MODERN DALAM ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dewasa
kini kemajuan peradaban islam mengalami pasang surut dalam aktualisasinya di
kehidupan muslim seluruh dunia ,ini tentu nya tidak terlepas dari peranan
pemikiran setiap muslim terhadap islam yang berbeda paradigma memahami islam
itu sendiri baik secara kontekstual maupun secara konteks pemikiran. Pemikiran
modern islam merupakan sebuah refleksi terhadap islam itu sendiri agar
nilai-nilai islam senantiasa terjaga meskipun dengan perubahan dan era
globalisasi zaman kontemporer saat ini. Sehingga para penganut islam memahami
dan meyakini bahwa islam adalah sebuah keyakinan yang tetap selaras pada setiap
zaman tanpa harus ragu – ragu dan malu untuk mengimplementasikan islam di dalam
kehidupan. Kita ketahui banyak terlahir pemikir – pemikir islam dari sejak abad
13 sampe abad 21 dewasa kini. Namun saat kita cermati ternyata banyak pemikir –
pemikir islam yang justru bersebarangan dengan nilai – nilai transendental
islam itu sendiri. Sehingga membingungkan bahkan menyesatkan pemahaman penganut
islam sendiri di sebabkan kajian Filsafat di jadikan Framework dalam menela’ahnya[1].
Dalam
perkembangan pemikiran Islam kontemporer, tidak hanya didominasi oleh golongan
yang mengarah pada perubahan-perubahan khazanah klasik atau golongan yang
bersikap kritis terhadap tradisi-tradisi lama, tetapi ada juga kelompok
pemikiran Islam yang berusaha melestarikan tradisi keilmuan Islam yang telah
mapan serta memanfaatkannya untuk membendung aspek negatif dari gerak arus
pembangunan dan modernisasi dalam segala bidang[2].
perkembangan pemikiran kontemporer pada golongan ini dapat di jumpai pada
pemikiran nurcholish madjid ,abdul absar abdalla ,jamuluddin al-afgani dll.
Husain Nasr misalnya, selalu menekankan begitu pentingnya menjaga warisan
khazanah keilmuan Islam klasik seperti yang telah di bangun oleh al- Farabi,
Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi dan lain-lain.4 Karya-karya Husain Nasr di fokuskan
pada sisi metafisik dari rancang bangun keutuhan pemikiran manusia. Kelompok
pemikiran Islam yang ini, nyaris tertutup dalam mengakomodasikan muatan
pengalaman manusia yang berkembang sebagai akibat persentuhannya dengan
dinamika ilmu pengetahuan dalam keutuhan pengalaman spiritual keberagamaan
manusia. Sedangkan kelompok pemikiran Islam yang melakukan perubahan-perubahan
terhadap khazanah Islam klasik atau kelompok pemikiran keagamaan yang bersifat
kritis cenderung untuk mengakomodasikan nuansa perkembangan ilmu pengetahuan
manusia dalam segala bidang dan mencoba menarik manfaat untuk mencari
penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. Menurut kelompok ini, umat Islam
sesungguhnya telah mempunyai budaya dan tradisi ( turats ) yang bagus dan
mapan. Namum, tradisi – tradisi tersebut harus di bangun kembali secara baru (
i’adah bunniyah min al- jadid ) dengan kerangka modern dan prasyarat rasional
agar bisa tetap survive dan di terima dalam kehidupan modern. Dengan demikian
kelompok pemikiran Islam kontemporer yang mampu menjawab tantangan zaman adalah
kelompok yang selalu bersikap kritis untuk mereaktualisasikan khazanah Islam,
karena memasuki dan ikut serta dalam abad modern bukanlah persoalan pilihan,
melainkan suatu keharusan sejarah kemanusiaan (Historical Ought)[3].
Maka dari itu kami ingin menyajikan pembahasan mengenai para tokoh pemikir
islam modern dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari pemikiran islam modern ?
2. Apa saja faktor yang melatar belakangi
timbulnya pemikiran islam modern ?
3 Siapa salah satu tokoh pemikiran islam
modern di dunia ?
4. Bagaimana
pemikiran islam modern para takoh tersebut ?
2.3 Tujuan Makalah
1. Untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah
“pemikiran modern dalam islam”.
2. Untuk mengetahui apa itu pemikiran modern
dalam islam beserta tokohnya dan pemikirannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pemikiran Modern dalam
Islam
Secara Sintaksis kajian “pemikiran modern islam”
terdiri dari 3 kata yakni pemikiran ,modern ,serta islam pengertian pemikiran
ialah proses ,cara ,perbuatan ,perbuatan memikir[4]. sedangkan
modern ialah sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan
tuntutan zaman ,terbaru[5]. Jadi
pemikiran modern islam ialah suatu pedoman atau landasan proses berpikir dan
bentuk pengamalan terhadap islam. Pemikiran Moderen Dalam Islam Sejak abad
ke-19 M., Para pemikir Islam memperlihatkan perhatian pada kebangkitan Islam
setelah mengalami masa kemunduran dalam segala bidang sejak jatuhnya
kekhilafahan bani Abbasiyah di Baghdad pada 1258 M. akibat serangan Hulagu khan
yang meluluhlantakan bangunan peradaban Islam yang pada waktu itu merupakan
mercusuar peradaban dunia. Munculnya pemikiran modern dalam Islam ini
dilatarbelakangi oleh 2 (dua) faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal meliputi Imperialisme Barat dan kontak dunia Islam dengan
dunia Barat. Sedangkan faktor internal meliputi kemunduran pemikiran Islam dan
bercampurnya unsur non Islam kedalam Islam[6].
Lahirnya Pemikiran Modern Dalam Islam
2.2 Faktor
– Faktor yang Melatarbelakangi
A.
Faktor Eksternal.
1. Imperialisme
Barat Imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi akibat disintegrasi umat
Islam yang terjadi jauh sebelum kehancuran peradaban Islam pada pertengahan
abad ke-13 M. Setelah runtuhnya bangunan peradaban Islam, perpecahan yang
terjadi di tubuh umat Islam bertambah parah dengan maraknya
pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintahan pusat Islam yang
mengakibatkan pudarnya kekuatan politik Islam dan lepasnya daerahdaerah yang
sebelumnya menjadi bagian dari kekuasaan Islam. Karena lemahnya politik Islam,
Barat, sejak abad ke-16 M. menduduki daerah-daerah yang disinggahinya untuk
dijadikan daerah penjajahan. Karena imperialisme inilah, lahir para pemikir
Islam yang berusaha membangunkan umat Islam dan mengajak mereka untuk bangkit
menentang penjajahan, seperti Jamaluddin Al Afghani dengan ide Pan Islamismenya
di Afganistan[7].
2.
Kontak dengan modernisme di Barat Sejak abad 16 M. Barat mengalami suatu babak
sejarahnya yang baru, yaitu masa moderen dengan munculnya para pemikir moderen
yang Muhammad Bahar Akkase Teng Pemikiran Modern Islam dalam Perspektif Sejarah
AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013 menyuarakan kemajuan ilmu pengetahuan dan
berhasil menumbangkan kekuasaan gereja (agama). Karena keberhasilannya inilah
dicapai peradaban Barat yang hingga kini masih mendominasi dunia. Sementara
itu, dunia Islam yang pada waktu itu sedang berada dalam kemundurannya, karena
interaksinya dengan modernisme di Barat mulai menyadari pentingnya kemajuan dan
mengilhami mereka untuk memikirkan bagaimana kembali memajukan Islam
sebagaimana yang telah mereka capai di masa sebelumnya sehingga lahirlah para
pemikir Islam seperti At Thahthawi dan Muhammad Abduh di Mesir, Muhammad Ali
Pasya di Turki, Khairuddin At Tunisi di Tunisia dan Sayyid Ahmad Khan di India.
B.
Faktor Internal.
1. Kemunduran Pemikiran Islam Kemunduran
pemikiran Islam terjadi setelah ditutupnya pintu ijtihad karena pertikaian yang
terjadi antara sesama umat Islam dalam masalah khilafiyah dengan pembatasan
madzhab fikih pada imam yang empat saja, yaitu madzhab Maliki, madzhab Syafi’i,
madzhab Hanafi dan madzhab Hambali. Sementara itu, bidang teologi didominasi
oleh pemikiran Asy’ariah dan bidang tasawwuf didominasi oleh pemikiran imam
Al-Ghazali. Penutupan pintu ijtihad ini telah menimbulkan efek negatif yang
sangat besar di mana umat Islam tak lagi memiliki etos keilmuan yang tinggi dan
akal tidak diberdayakan dengan maksimal sehingga yang dihasilkan oleh umat
Islam hanya sekadar pengulangan-pengulangan tulisan yang telah ada sebelumnya
tanpa inovasi-inovasi yang diperlukan sesuai dengan kemajuan zaman.Berkenaan
dengan kemunduran pemikiran Islam ini, para pemikir Islam di jaman moderen
dengan ide-ide pembaharuannya, menyuarakan pentingnya dibuka kembali pintu
ijtihad.
2.
Bercampurnya ajaran Islam dengan unsur-unsur di luarnya. Selain kemunduran
pemikiran Islam, yang menjadi latar belakang lahirnya pemikiran moderen dalam
Islam adalah bercampurnya agama Islam dengan unsur-unsur di luarnya. Pada masa
sebelum abad ke-19 M., umat Islam banyak yang tidak mengenal agamanya dengan
baik sehingga banyak unsur di luar Islam dianggap sebagai agama. Maka
tercampurlah agama Islam dengan unsur-unsur asing yang terwujud dalam bid’ah,
khurafat dan takhayul. Muhammad Abduh yang dilanjutkan dengan muridnya Muhammad
Rasyid Ridha dan KH. Ahmad Dahlan di Indonesia adalah para pemikir pembaharuan
Islam yang penuh perhatian terhadap pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat
di kalangan umat Islam. Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa
faktor eksternal adalah yang paling utama, sedangkan faktor internal, telah ada
sebelum masa moderen Islam yang telah lebih dahulu melatarbelakangi lahirnya
pemikiran pemikiran pembaharuan dalam Islam, karena pemikiran moderen dalam
Islam Pemikiran Modern Islam dalam Perspektif Sejarah Muhammad Bahar Akkase
Teng AL-FIKR Volume 17 Nomor 2 Tahun 2013 tidak lain adalah kelanjutan
pemikiran pembaharuan yang telah ada sebelumnya atau pemikiran pembaharuan pada
masa klasik.
2.3
SALAH SATU TOKOH – TOKOH PEMIKIR ISLAM MODERN
1.
HASAN AL - BANNA
Hassan al-Banna merupakan pendiri dari Ikhwanul Muslimin, salah satu organisasi
Islam terbesar dan berpengaruh di Abad 20.
Hassan al-Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir.
Pada usia 12 tahun, Hasan al-Banna telah menghafal al-Qur'an. Ia adalah seorang mujahid
dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan
pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin).
Ia memperjuangkan Islam menurut Al-Quran dan Sunnah hingga
dibunuh oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai
penembak 'titipan' pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo[8].
Kepergian
Hassan al-Banna pun menjadi duka berkepanjangan bagi umat Islam. Ia mewariskan
2 karya monumentalnya, yaitu Catatan Harian Dakwah dan Da'i serta Kumpulan Surat-surat[9].
Selain itu Hasan al-Banna mewariskan semangat dan teladan dakwah bagi seluruh
aktivis dakwah saat ini.
Selain itu ia juga
dikenal akan cara berdakwahnya yang sangat tidak biasa. Ia terkenal sangat
tawadlu dikarenakan ia sering berdakwah di warung-warung kopi tempat
oarang-orang yang berpengetahuan rendah berkumpul untuk minum-minum kopi
sehabis lelah bekerja seharian. Dan ternyata cara tersebut memang lebih efektif
dilakukan dalam berdakwah[10].
Hassan
al-Banna yang lahir pada 14 Oktober 1906 di Mahmudiyya, Mesir (utara-barat dari
Kairo). adalah seorang guru dan seorang reformis Mesir sosial dan politik
Islam, yang terkenal karena mendirikan Ikhwanul Muslimin, salah satu dari abad
ke-20 terbesar dan paling berpengaruh organisasi Islam revivalis. Kepemimpinan
Al-Banna adalah penting bagi pertumbuhan persaudaraan selama tahun 1930-an dan
1940-an. Ketika Hassan al-Banna berusia dua belas tahun, ia mulai terbiasa
mendislipinkan kegiatannya menjadi empat; siang hari di pergunakanya untuk
menuntut ilmu di sekolah, kemudian belajar membuat dan membetulkan jam dengan
orang tua nya hingga sore, waktu sore hingga menjelang tidur ia gunakan untu
mengulang kembali pelajaran sekolah.sementara membaca dan mengulang-ulang
hafalan al-qur'an ia lakukan seusai salat shubuh. Jadi tidak mengherankan bila
Hassan Al-Banna mencetak prestasi-prestasi gemilang dikemudian
hari.
Pada usia 14 tahun, Hassan Al-Banna telah menghafal seluruh Al-Qur'an.
Hassan Al-Banna lulus dari sekolahnya dengan predikat terbaik dan nomor lima
terbaik di seluruh mesir. Pada usia Mesir sebagai background perjuangan
Hasan al-Banna merupakan wilayah yang syarat dengan tantangan dakwah Islam
waktu itu. Dengan sarana perjuangan yang diwadahi Ikhwanul Muslimin –yang
notabene organisasi yang didirikannya-, sangat konsen perhatiannya dalam
pergerakan politik. Dimana salah satu sisi Tarbiyyah Ikhwanul muslimin yang
penting adalah bidang politik. Politik disini, sebagaimana dijelaskan Yusuf
al-Qaradhawi, merupakan bidang yang berhubungan dengan urusan hukum, sistem
negara, hubungan pemerintah dan rakyat, hubungan antara satu negara dengan yang
lainnya dari negara-negara Islam ataupun non Islam, hubungan negara dengan
kolonial penjajah, dan hubungan-hubungan yang lainnya dari ketentuan-ketentuan
yang sekian banyaknya[11].
Dalam
eksistensinya, Mesir menurut Hasan Al- Banna mengalami pembodohan dalam
berorganisasi. Hal ini terletak pada klasifikasi organisasi politik dan
organisasi agama. Ada dikotomi/ pemisahan antara agama dan politik dalam
organisasi- organisasi di Mesir. Maka terjadi perbedaan konsep, dimana konsep
politik bertolak belakang dengan konsep agama. Sehingga organisasi agama, tidak
boleh mengurusi politik dan organisasi politik tidak dianjurkan untuk mengurusi
agama. Hasan al-Banna menembus pemahaman adanya dikotomi agama dan politik
tersebut untuk meniadakannya. Ia menganggap bahwa hal tersebut merupakan
pemahaman yang didasari kebodohan dan hawa nafsu yang dilestarikan oleh
kolonial peradaban. Maka menjadi keniscayaan dalam memerangi dan meniadakan
pemikiran berbahaya tersebut dengan pemikiran yang benar, yakni kesempurnaan
Islam untuk setiap bidang kehidupan, termasuk politik, sebagaimana yang
dijelaskan dalam al-Qur’an, hadits, petunjuk Rasul SAW., sejarah para sahabat,
dan amalan umat sepanjang lebih dari 14 abad. Hasan al-Banna mempertegas, “jika
kalian ditanya, kepada apa kalian akan menyeru? Maka jawablah: Kami akan
menyeru kepada Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW., dan pemerintahan merupakan
bagian dari Islam, dan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan dari
keniscayaan-keniscayaannya.” Selanjutnya ia menjelaskan, “jika dikatakan kepada
kalian: Ini adalah politik. Maka jawablah: Ini adalah Islam. Kami tidak
mengenal pembagian-pembagian ini![12].”
Dalam
pemikiran politiknya, setidaknya ada empat hal yang menjadi perhatian beliau
dalam mengawal gerak perjuangannya. Keempat point pemikirannya menjadi sisi
penting untuk memahami bagaimana ia menggerakan Ikhwanul Muslimin hingga
menjadi organisasi Islam yang menjadi panutan dan rujukan pergerakan ormas
Islam lain di beberapa penjuru dunia. Pertama, mengenai konsep Arabisme
(‘Urūbah). Kedua, konsep patriotisme (Wathaniyyah). Ketiga, konsep nasionalisme
(Qaumiyyah). Keempat, konsep internasionalisme (Ālamiyyah). Mari kita bahas
satu persatu konsep tersebut:
a. Arabisme
Arabisme
memiliki tempat tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah Hasan al-Banna.
Bangsa Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima kedatangan Islam. Dia juga
merupakan bahwa yang terpilih. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh
Rasulullah Saw, “Jika bangsa Arab hina, maka hina pulalah Islam.” Arabisme
menurut al-Banna adalah kesatuan bahasa. Ia berkata dalam Muktamar Kelima
Ikhwan,“…Bahwa Ikhwanul Muslimin memaknai kata al-‘Urūbah (Arabisme)
sebagaimana yang diperkenalkan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu
Katsir dari Mu’adz bin Jabal ra, “Ingatlah, sesungguhnya Arab itu bahasa.
Ingatlah, bahwa Arab itu bahasa.” Menurut Al-Banna, Arab adalah umat Islam
yang pertama, yang merupakan bangsa pilihan. Islam, menurutnya, tidak pernah
bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis dan pemetaan
politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam. Islam juga tumbuh
pertama kali di tanah Arab, kemudian berkembang ke berbagai bangsa melalui orang-orang
Arab. Kitabnya datang dengan bahasa Arab yang jelas, dan berbagai bangsa pun
bersatu dengan namanya.
Selaras
dengan penjelasan tersebut, Abdul Hamid al-Ghazali, dalam bukunya Meretas
Jalan Kebangkitan Islam, mengatakan bahwa dapat disimpulkan beberapa unsur dari
pemikiran Al-Banna bahwa berbangga dengan Arabisme tidak termasuk fanatisme dan
tidak berarti merendahkan pihak lain. Arabisme dengan tujuan untuk
membangkitkan Islam demi tersebarnya Islam adalah dibolehkan[13]. Dalam
hal ini, penulis mencoba untuk menelaah apakah Arabisme sama
dengan Chauvivisme Adolf Hitler dalam mempertahankan paham mereka
masing- masing. Ternyata, pilihan Arabisme bukanlah sebuah paham, tapi tujuan
Hasan Al- Banna yang memilih arab sebagai lokasi dakwahnya guna mempersatukan
seluruh negara dan bangsa Arab. Bukan dengan artian menjadikan Arab sebagai
ideologi tersendiri dan dianggap paling benar, seperti yang dilakoni Hitler
atas bangsa Arya di Jerman.
b. Patriotisme
Dalam
memaknai Wathaniyah (patriotisme), ada tiga arti yang dikemukakan
oleh Hasan Al-Banna, yaitu: Pertama, Patriotisme Kerinduan (Cinta Tanah
Air). Al-Banna berkata: “Jika yang dimaksud dengan patriotisme oleh para
penyerunya adalah cinta negeri ini, keterikatan padanya, kerinduan padanya, dan
ikatan emosional dengannya, maka hal itu sudah tertanam secara alami dalam
fitrah manusia di satu sisi, dan dianjurkan Islam di sisi lainnya.”Kedua,
Patriotisme Kemerdekaan dan Kehormatan (Kemerdekaan Negeri). Al-Banna berkata:
“Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah keharusan berjuang untuk
membebaskan tanah air dari cengkeraman perampok imperialis, menyempurnakan
kemerdekaannya, dan menanamkan kehormatan diri dan kebebasan dalam jiwa
putra-putra bangsa, maka kami sepakat dengan mereka tentang itu.” Ketiga,
Patriotisme Kebangsaan (Kesatuan Bangsa). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka
maksudkan dengan patriotisme adalah mempererat ikatan antara anggota masyarakat
suatu Negara dan membimbingnya ke arah memberdayakan ikatan itu untuk
kepentingan bersama, maka kami pun sepakat dengan mereka.”
Ketiga
pandangan patriotisme tersebut nampaknya tidak jauh berbeda dengan ikatan luhur
bangsa Indonesia dalam butir- butir Pancasila yang digali oleh Bung Karno.
Sejarah mencatat bahwasanya Pancasila sangat dipengaruhi oleh daya dan cara
piker Islam yang berasal dari Piagam Madinah. Penulis melihat ada kesamaan arti
dan makna bagaimana Hasan Al- Banna menginterpretasikan pancasila dalam binkai
Ikhwanul Muslimin dengan Pancasila sebagai kepatriotan bangsa Indonesia. Patriotisme
juga memiliki prinsip lainnya di mata Hasan Al-Banna. Ia mengatakan:
“Suatu
kekeliruan bagi orang-orang yang menyangka bahwa Ikhwanul Muslimin berputus asa
terhadap kondisi negeri dan tanah airnya. Sesungguhnya kaum Muslimin adalah
orang-orang yang paling ikhlas berkorban bagi negara, habis-habisan berkhidmat
untuknya, dan menghormati siapa saja yang mau berjuang dengan ikhlas dalam
membelanya. Dan anda tahu sampai batas mana mereka menegakkan prinsip
patriotisme mereka, serta kemuliaan macam apa yang mereka inginkan bagi
umatnya. Hanya saja, perbedaan prinsip antara kaum muslimin dengan kaum yang
lainnya dari para penyeru patriotisme murni adalah bahwa asas patriotisme Islam
adalah akidah Islamiyah…Adapun tentang patriotisme Ikhwanul Muslimin, cukuplah
bahwa mereka menyakini dengan kukuh bahwa sikap acuh terhadap sejengkal tanah
yang ditinggali seorang muslim yang terampas merupakan tindakan kriminal yang
tidak terampuni, hingga dapat mengembalikannya atau hancur dalam
mempertahankannya. “Tidak ada keselamatan bagi mereka dari siksa Allah kecuali
dengan itu[14].”
c. Nasionalisme
Dalam
pandangan al-Banna, nasionasionalisme dipahami dalam 5 bentuk[15].Pertama, nasionalisme
kebanggaan, yaitu rasa bangga generasi penerus terhadap pendahulunya diiringi
adanya tanggung jawab kewajiban untuk mengikuti jejak para pendahulu yang
beriman kepada Allah sebagai Tuhan yang mesti disembah dan ditaati, Islam
sebagai sistem hidup, Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasul, lalu menyebarkan
Islam sebagai akidah, syari’at dan pandangan hidup, menerapkan hukum dengan
keadilan Islam, serta menyinari pola pikir manusia dengan keimanan.
Kedua,
nasionalisme kebangsaan, yakni umat suatu bangsa mesti mengorbankan apa yang
dimiliknya dari usahanya yang baik untuk menjadikan bangsa yang lebih baik.
Nasionalisme ini selaras dengan apa yang ada di dalam Islam, dimana infak
hendaknya memperhatikan kebutuhan orang terdekat dan selanjutnya. Allah
berfirman, “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:
apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah
Maha mengetahuinya[16].”
Ketiga, nasionalisme
jahiliyyah yang berarti nasinalisme yang dianut oleh kaum jahiliyyah. Dimana
para penyeru nasionalisme ini berupaya menghidupkan kembali semangat-semangat
jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme
kesukuan, sikap sombong, dan merasa lebih dari orang lain. Prinsip-prinsip
nasionalisme seperti ini berusaha dihidukan kembali oleh partai-partai sekuler
yang menuduh Islam terbelakang atau kuno, sehingga harus dikikis dari
kehidupan. Oleh karena itu, Hasan al-Banna menyatakan bahwa nasionalisme
seperti ini amat tercela dan berakibat buruk dan akan meruntuhkan nilai-nilai
kemuliaan serta menghilangkan watak-watak terpuji.
Keempat, nasionalisme
permusuhan, yaitu nasionalisme yang berlandaskan semangat merampas hak-hak
orang lain tanpa alasan yang benar. Semangat seperti merupakan semangat
jahiliyyah yang terus berkembang dari dulu sampai sekarang. Bahkan era
jahiliyyah dulu ada sebuah sya’ir yang mengatakan, “Siapa yang tidak menganiaya
orang lain, maka dia yang akan dianiaya[17].”
Kelima,
nasionalisme Islam, yakni nasionalisme yang berlandaskan aqidah, bukan darah,
keluarga, kepentingan, dan wilayah geografis tertentu. Ia merupakan
nasionalisme yang menghapuskan semangat-semangat jahiliyyah yang mengusung
kesukuan dan fanatisme buta, nasionalisme yang menyerap dan menampung seluruh
jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, dan negara manapun, tanpa
membeda-bedakannya. Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah
menghapuskan arogansi jahiliyyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang, karena
manusia berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Sehingga orang Arab
tidak lebih baik dibanding orang A’jam (non Arab), kecuali dengan taqwa[18].”
d. Internasionalisme
Internasionalisme
menurut Hasan al-Banna inheren dalam Islam, oleh karena Islam adalah agama yang
diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. “Adapun dakwah kita disebut
internasional, karena ia ditujukan kepada seluruh umat manusia. Manusia pada
dasarnya bersaudara; asal mereka satu, bapak mereka satu, dan nasab mereka pun
satu. Tidak ada keutamaan selain karena takwa dan karena amal yang
dipersembahkannya, meliputi kebaikan dan keutamaan yang dapat dirasakan
semuanya,” demikian tulisnya.
Konsep
internasionalisme merupakan lingkaran terakhir dari proyek politik al-Banna
dalam program ishlāhul ummah (perbaikan umat). Dunia, tidak bisa tidak,
bergerak mengarah ke sana. Persatuan antar bangsa, perhimpunan antar suku dan
ras, bersatunya sesama pihak yang lemah untuk memperoleh kekuatan, dan
bergabungnya mereka yang terpisah untuk mendapatkan hangatnya persatuan, semua
itu merupakan pengantar menuju terwujudnya kepemimpinan prinsip
internasionalisme untuk menggantikan pemikiran rasialisme dan kesukuan yang
diyakini umat manusia sebelum ini. Dahulu memang harus meyakini ini untuk
menghimpun unsur-unsur dasar, lalu harus dilepaskan kemudian untuk
menggabungkan berbagai kelompok besar, setelah itu terwujudlah kesatuan total
di akhirnya. Langkah ini, menurutnya memang lambat, namun itu harus terjadi.
Untuk
mewujudkan konsep ini juga Islam telah menyodorkan sebuah penyelesaian yang
jelas bagi masyarakat untuk keluar dari lingkaran masalah seperti ini. Langkah
pertama kali yang dilakukan adalah dengan mengajak kepada kesatuan akidah,
kemudian mewujudkan kesatuan amal. Hal ini sejalan dengan firman Allah
SAW., “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Musa dan Isa yaitu ‘Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”[19]
Hasan
Al- Banna sebagai seorang pemikir Islam memiliki peran yang sangat besar dalam
proses meluruskan Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin. Konsep
dirinya yang menyangkut perbaikan individu, perbaikan keluarga, perbaikan
masyarakat, perbaikan umat dan perbaikan Negara bertujuan untuk mengembalikan
Islam sebagai sebuah peradaban yang harmonis seperti masa- masa
keemasan Kholifah Islamiyah. Metode gerakan yang diserukan oleh
Ikhwan adalah bertumpu pada tarbiyah (pendidikan) secara bertahap[20].
Tahapan tersebut adalah dengan membentuk pribadi muslim, keluarga muslim,
masyarakat muslim, pemerintah muslim, Negara Islam, Khalifah Islam dan akhirnya
menjadi Ustadziyatul ‘Alam (kepeloporan dunia). Tentunya, agenda
Hasan Al Banna menjadi terhenti manakala dirinya meninggal dengan cara
mengenaskan setelah ditembak secara brutal oleh beberapa orang yang tidak
dikenal. Dua jam setelah dirinya ditembak, ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Namun paling tidak, hingga hari ini metode dakwahnya dicontoh oleh
sebagian besar negara- negara didunia seperti Turki, Mesir dan juga Indonesia.
Hasan Al Banna meninggalkan konsep- konsep dakwah nan brilian yang mencoba
meluruskan dimana peran agama saat bertemu politik ataupun sebaliknya, karena
menurutnya keduanya ialah dua sisi dalam satu keeping mata uang logam, tidak
dapat dipisahkan
Kesimpulan :
Revolusi
pemikiran yang ditawarkan al Banna adalah bahwa Islam merupakan agama yang
universal, mencakup segala aspek kehidupan. Islam merupakan tatanan hidup, dan
atas dasarnya (Islam) semua aktivitas kehidupan harus dijalankan. Maka, solusi
yang ditawarkan al Banna dalam merespon krisis yang melanda Mesir dan
sekitarnya adalah mengembalikan dan mengorientasikan segala persoalan pada al
Qur’an dan al Hadits serta sirath nabi Muhammad Saw. Hasan Al-Banna
menggambarkan kekhasan masyarakat muslim, secara otomatis, proses
pembentukannya juga bersifat khas. Yaitu dengan cara mewujudkan adanya kelompok
manusia yang menerima aqidah Islam dan mengakui bahwa ia tidak beribadah kepada
selain Allah, baik dalam kayakinan, ibadah, Syi’ar, aturan, maupun
undang-undang. Kelompok ini melaksanakan dengan nyata dalam perjalanan hidupnya
secara keseluruhan, berdasarkan asas ini. Ketika itu, terjadilah kelahiran atau
pembentukan masyarakat baru. Unsur-unsur dari hal itu
adalah, pertama, sekelompok manusia. Kedua, terdidik di atas
aqidah.Ketiga, kehidupannya diatur dengan landasan aqidah, seutuhnya.[21] Sehingga
Hasan al-Banna menekankan pendidikan (tarbiyah) adalah jalan utama (thariq
asasi) untuk mewujudkan masyarakat muslim.
Hasan
Al-Banna berpendapat bahwa sistem politik atau pemerintahan diselenggarakan
sesuai dan dalam kerangka landasan-landasan tertentu yaitu, Syura (musyawarah),
hurriyah (kebebasan), musawah (persamaan), adl(keadilan),ta’ah(kepatuhan)dan amarma’rufnahi
munkar. Hasan AlBanna berpendapat bahwa anggota syuro terdiri atas, pertama,
para ahli fiqh yang mujtahid, yang pernyataan pernyataannya diperhitungkan dalam
fatwa dan pengambilan hukum.Kedua pakar yang berpengalaman dalam urusan publik.
Ketiga, Semua orang memiliki kepemimpinan terhadap orang lain. Mereka ini disebut
dengan ahlul halli wal ’aqdi.
2.
Nurcholis
Madjid
Nurcholis Madjid ataupun yang akrab dengan sapaan Cak Nur, lahir di Mojoanyar,
Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H dari
keluarga kalangan pesantren[22].
Nurcholis Madjid dibesarkan dilingkungan keluarga kiai terpandang. Ayahnya
bernama KH. Abdul Madjid, seorang ulama terkemuka di kalangan NU. Pendidikan
yang ditempuh Nurcholis Madjid dimulai sejak Sekolah Rakyat dan Madrasah
Ibtidaiyah Pesantren Darul-ulum, kemudian melanjutkan jenjeng pendidikannya di
Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyah (KMI) Pondok Pesantren Modern Darussalam
Gontor Ponorogo. Setelah itu ia melanjutkan studinya ke IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Jurusan Sastra
Arab dan tamat pada tahun 1968.
Selama menjalani aktifitas kemahasiswaannya, Nurcholis Madjid aktif di berbagai
organisasi kemahasiswaan. Diantaranya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan
sekaligus pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI selama dua periode
sejak 1966-1969 dan 1969-1971). Pada tahun 1967-1969, ia menjadi Presiden
Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Sekretaris Jenderal International Islamic
Federation of Students Organizations tahun 1969-1971. Sejak 1978 ia melanjutkan
studinya di University of Chicago USA dan meraih gelar Doktor (Ph.D Study Agama
Islam) pada tahun 1984 dengan disertasi berjudul Ibn Taimiyah on Kalam and
Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam, (Ibn Taimiyah Tentang
Kalam dan Filsafat: Suatu Persoalan Hubungan Antara Akal dan Wahyu Dalam
Islam). Setelah kembali ke tanah air pasca menyelesaikan studinya di AS,
Nurcholis Madjid kemudian mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina.
Selain menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1972,
Nurchilis Madjid juga menjadi Guru Besar tamu pada McGill University, Montreal,
Canada tahun 1991-1992. Nurchilis Madjid menjadi Ketua Yayasan Paramadina sejak
1985, dan mejadi Rektor Universitas Paramadina Mulya sejak 1998-2005. Dan
Nurcholis Madjid wafat Pada 29 Agustus 2005.
Ide (pemikiran) Nurcholis Madjid
dalam pembaruan islam
Gagasan
– gagasan Nurcholis Madjid mulai muncul semenjak ia berkecimpung di dunia
kampus. Hingga akhirnya dia dianggap sebagai salah satu pencetus pembaruan
pemikiran Islam. Ketokohannya secara tidak berlebihan dianggap mewakili figur
pembaru pemikiran yang mampu menggagas Islam secara lebih brilian. Terbukti
dengan banyaknya studi tentang pemikirannya dan peranannya dalam kebangkitan
modernisme di Indonesia. Nurcholis Madjid juga dikenal sebagai tokoh yang
memperkenalkan pemikiran Islam neo-modernis di Indonesia[23].
Pencetusnya adalah Fazlur Rahman, gurunya sewaktu di Chicago. Gagasan
neo-modernis Islam ini mendapat tempat di Indonesia, terutama di kalangan
intelektual muda sejak awal tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an, bahkan
hingga memasuki abad ke-21 sekarang.
Mengenai pemikiran Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa dia
berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan oleh peradaban Islam di
puncak kejayaannya sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan yang membuat Islam mampu
menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya. Penyerapan tersebut membuat
Islam sarat dengan nilai universal. Karenanya, Madjid selalu menekankan
pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan[24].
Berikut
ini akan kami sebutkan beberapa pemikiran Nurcholis Madjid yang membawa
pengaruh besar pada rekonstruksi pemikiran Islam di Indonesia
1.
Modernisasi
Modernitas sebagai gerakan pembaharuan yang berawal di Eropa menawarkan cara
pandang baru terhadap fenomena kebudayaan. Modernitas muncul sebagai sejarah
penaklukan nilai-nilai lama abad pertengahan oleh nilai-nilai baru modernis[25].
Kekuatan rasional digunakan untuk memecahkan segala persoalan kamanusiaan dan
menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos tradisional.
Jika modernisasi merupakan produk perkembangan ilmu pengetahuan, maka Islam
menurut Nurcholis Madjid, adalah agama yang sangat modern bahkan terlalu modern
untuk zamannya[26],
karena Islam adalah agama yang secara sejati memiliki hubungan organik dengan
ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan tersebut
dalam kerangka keimanan, maka kaum Muslim hendaknya yakin bahwa Islam bukan
saja tidak menentang ilmu pengetahuan, tetapi justru menjadi
pengembangannya dan tidak melihat perpisahan antara iman dan ilmu.
Argumentasi Nurcholis Madjid tersebut berkembang dari pandangannya tentang
historisitas sejarah Islam yang sempat mengalami puncak kejayaannya sejak masa
kekhalifaan sampai runtuhnya kerajaan-kerajaan awal Islam di zaman klasik yang
kesemuanya memiliki kultur pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat kuat.
Kultur ini terjadi karena di zaman itu (zaman klasik Islam) terjadi usaha-usaha
yang serius dalam hal interpretasi teks-teks kitab suci yang dampak positifnya
masih terasa hingga sekarang.
Untuk memberikan sebuah batasan asumsi tentang modernisasi, kita lihat pendapat
Nurcholis Madjid sebagi berikut:
Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau
hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses
perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan
menggantikannya dengan bola berpikir dan tata kerja baru yang akliah.
Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya-guna dan efisiensi yang maksimal…. Jadi
sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan
bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.
Sebagai seorang Muslim yang dengan sepenuhnya meyakini Islam sebagi Way of
Life, yang juga akan menganut cara berfikir Islami, menurut Nurcholis Madjid,
pemaknaan terhadap substansi modernis harus berorintasi kepada nilai-nilai
besar Islam. Dengan demikian akan memperkuat keyakinan kita bahwa modernisasi berarti
rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja secara
maksimal merupakan perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar[27].
Karena manusia pada prinsipnya akan selalu mengalami perubahan dalam setiap
kurun waktu, maka modernitas merupakan kelanjutan wajar dan logis dari sejarah
perkembangan manusia yang lambat atau cepat pasti akan muncul.
Hakikat zaman modern menurut Nurcholis Madjid bukan karena kebaruannya yang
seolah-olah tidak ada lagi tahap yang berikutnya, modern mengisyaratkan
penilaian tertentu yang cenderung positif (modern berarti maju dan baik). Bagi
Nurcholis Madjid, menjadi modern juga berarti progresif dan dinamis, jadi tidak
dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada, karena itu bersifat merombak
tradisi-tradisi yang tidak benar, tidak rasional, tidak ilmiah, tidak sesuai
dengan hukum alam[28].
Zaman
sekarang yang di sebut zaman modern bukanlah akhir dari perkembangan peradaban
manusia, ataupun klimaks dari segala pemanfatan fungsi inderawi manusia
terutama fungsi akal, karena boleh jadi setelah zaman modern ini akan ada zaman
lain yang otoritas dan tingkatan ilmu pengetahuannya lebih berkembang dan
canggih dari yang kita saksikan sekarang. Ini merupakan konsekuensi logis
dinamika kehidupan manusia, sebab peradaban manusia telah beberapa kali
mengalami (yang biasanya kita kenal) revolusi, dari revolusi Industri
(teknologis) di Inggris Tahun 1793, revolusi Perancis (sosial-politik) 1798,
dan juga revolusi Rusia 1917.
Meski
demikian, kemodrenan kata Nurcholis Majid adalah relatif sifatnya, sebab
terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu yang dikatakan modern dapat dipastikan
menjadi kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang, sedangkan yang
modern secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yakni Tuhan. Jadi modernitas
berada dalam suatu proses penemuan kebenaran yang relatif menuju penemuan
kebenaran yang mutlak, yaitu Allah.
Dalam perspektif ini, kemoderenan dengan segala implikasi sosialnya merupakan
usaha kritis manusia dalam memenuhi tuntutan hidupya. Karena ia merupakan usaha
manusia maka dengan sendirinya ia menjadi relatif, sebab pada dasarnya
kebenaran insani apapun bentuknya menjadi relatif, dan kebenaran mutlak adalah
milik Allah. Tidak seorang manusiapun berhak mengatakan kebenaran insani
sebagai kebenara mutlak, sebaliknya, karena menyadari kerelatifan manusia,
setiap orang harus menerima dan mendengarkan kebenaran dari orang lain[29].
Dengan demikian akan terjadi suatu proses kemajuan yang terus menerus dari
kehidupan manusia sesuai dengan fitrah dan wataknya yang hanif yakni mencari
dan merindukan kebenaran.
Modernisasi sering dikaitkan erat dengan dunia Barat, karena secara kebetulan
momentum zaman modern dimulai oleh Eropa Barat, sehingga akan menjadi masalah
bagi bangsa-bangsa bukan Barat ketika memasuki atau tepatnya ingin melakukan
usaha-usaha menuju proses modernisasi. Bangsa-bangsa non-Barat akan
diperhadapkan secara dilematis antara usaha mempertahankan keaslian budaya
mereka dengan sistem modernisasi yang sepenuhnya dianggap telah menyatu dengan
budaya Barat.
Masalahnya
semakin kompleks ketika diperhadapkan dengan asumsi sosial bahwa karena
modernisasi merupakan produk Barat, maka bangsa-bangsa (terutama bangsa
non-Barat) yang ingin menjadi modern harus terlebih dulu ter-Barat-kan, menggantikan
budaya lokal mereka dengan kebudayaan yang mirip Barat atau mengalami
westernisasi, karena westernisasi adalah pintu menuju modernisasi, seperti
misalnya yang di lakukan oleh Mustafa Kemal Attaturk (Kemalisme) yang
menciptakan Turki Baru di atas puing-puing kekuasaan Turki Usmani dan melakukan
upaya kearah Westernisasi dan modernisasi[30].
2.
Tentang Pluralisme
PLURALISME ialah suatu isme (aliran pemikiran / pemahaman)
yang mempercayai dan meyakini serta “mengimani” bahwa semua agama sama danbenar
, sehingga siapapun - termasuk Nabi dan Rasul sekali pun – tidak berhak mengklaim
ajaran agamanya yang paling benar. Dalam prakteknya, Pluralisme telah menjadi
suatu IDEOLOGI LINTAS AGAMA yang mencampur- adukkan ajaran semua agama.
Dilatarbelakangi oleh beragamnya agama yang berkembang di
Indonesia, Nurcholis Madjid mencoba untuk mengungkapkan gagasan pluralismenya.
Di tengah kemajemukan, heterogenitas dan keragaman agama di Indonesia ini,
Nurcholis Madjid mencoba untuk menegaskan bahwa setiap agama harus terbuka
terhadap setiap kebenaran agama yang lain; atau setidaknya mengakui adanya
kebenaran di dalam agama lain. Ini diungkapkannya dalam tulisannya berjudul
“Klaim kebenaran” “Kita bisa
merefleksikan: Apa yang bisa terjadi, jika agama menjadi tertutup dan penuh
kefanatikan, lalu mengklaim kebenaran sendiri dan ‘mengirim ke neraka’ agama
yang lain. Inilah yang menimbulkan problem, yang disebut dalam studi
agama-agama sebagai ‘masalah klaim kebenaran’(the problem of truth claim). Mendasarkan
diri pada Al-Quran, Nurcholis Madjid mencoba mengkaji masalah klaim kebenaran
ini secara lebih mendalam. Tanpa bermaksud mereduksi kebenaran yang diyakini
oleh masing-masing agama, Nurcholis Madjid melihat kembali unsur-unsur yang
telah ada dalam masing-masing agama, terutama agama Islam, yakni toleransi,
kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran. Landasan berbagai
prinsip itu tertuang dalam berbagai nuktah ajaran Kitab Suci, bahwa Kebenaran
Universal yang adalah tunggal, memungkinkan adanya manifestasi lahirnya
keberagaman. Kebenaran Universal, sebagai kesatuan asal umat manusia, inilah
yang menjadi tujuan setiap manusia yang beraneka ragam. Ia mendasarkan diri
pada firman berikut:
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus” (QS. Al-Baqarah/2:213). Dari beberapa hal di atas, kita semakin melihat bagaimana Nurcholis Madjid mendasarkan pemikiran tentang pluralismenya. Bagi Nurcholis Madjid, ’klaim kebenaran’ tidak dibenarkan. Semua orang dapat memperoleh keselamatan asalkan dia beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, dan berbuat baik, tanpa memandang apakah ia keturunan Nabi Ibrahim atau bukan. Dari pengertian ini, adanya kemajemukan agama diakui keberadaannya tanpa memandang agamanya sebagai yang paling benar. Sejalan dengan gagasan kemajemukan tersebut, Nurcholis Madjid juga mendasarkan pemikirannya tentang pluralisme pada konsep Islam tentang kebebasan beragama
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus” (QS. Al-Baqarah/2:213). Dari beberapa hal di atas, kita semakin melihat bagaimana Nurcholis Madjid mendasarkan pemikiran tentang pluralismenya. Bagi Nurcholis Madjid, ’klaim kebenaran’ tidak dibenarkan. Semua orang dapat memperoleh keselamatan asalkan dia beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, dan berbuat baik, tanpa memandang apakah ia keturunan Nabi Ibrahim atau bukan. Dari pengertian ini, adanya kemajemukan agama diakui keberadaannya tanpa memandang agamanya sebagai yang paling benar. Sejalan dengan gagasan kemajemukan tersebut, Nurcholis Madjid juga mendasarkan pemikirannya tentang pluralisme pada konsep Islam tentang kebebasan beragama
3.
Integrasi Keislaman dan Keindonesiaan
Nurcholis
Madjid dikategorikan sebagai kelompok pemikir substantivistik. Hal itu
dimaksudkan sebagai penekanan terhadap pemikirannya bahwa substansi atau makna
iman dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme
keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks wahyu.
Pesan-pesan al-Qur’an dan Hadīth yang mengandung esensi abadi dan bermakna universal,
ditafsirkan kembali berdasarkan tuntutan dan rentang waktu sejarah kaum Muslim
serta dikontekstualisasikan dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada
masanya.
Dengan
pemikiran substantivistiknya, Madjid mengelaborasi apa yang disebutnya paralelisme
atau kemanunggalan keislaman dan keindonesiaan. Dengan kata lain, sebagai salah
satu pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam harus tampil
produktif dan konstruktif terutama dalam mengisi nilai-nilai keindonesiaan
dalam kerangka Pancasila, yang menjadi kesepakatan luhur dan merupakan kerangka
acuan bersama bangsa Indonesia.
Dalam bidang politik, kaum substansialis berupaya menekankan manifestasi
substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik. Bukan hanya dalam penampilan
akan tetapi juga dalam format pemikirannya. Menurut Madjid, eksistensi dan
artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinsik, dalam iklim politik Indonesia
lebih penting dan sangat memadai untuk mengembangkan islamisasi dalam wajah
kulturalisasi masyarakat Indonesia modern. Proses Islamisasi seharusnya
mengambil bentuk kulturalisasi, bukan politisasi. Dengan demikian
gerakan-gerakan Islam sebaiknya menjadi gerakan budaya daripada menjadi gerakan
politik[31].
Madjid
menyadari bahwa pluralisme internal sebagai kondisi obyektif bangsa Indonesia
tidak dapat dihadang, bahkan dihindari. Oleh karena itu dia berpendapat bahwa
pengembangan Islam di Indonesia memerlukan pemahaman dan strategi yang matang.
Ia mengajukan gagasan tentang perlunya integrasi keislaman dan keindonesiaan.
Menurutnya, meskipun nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal,
pelaksanaannya itu sendiri menuntut pengetahuan dan pemahaman tentang
lingkungan sosio-kultural masyarakatnya secara keseluruhan, termasuk didalamnya
lingkungan politik dalam kerangka konsep nation-state (negara bangsa).
Gagasan integrasi keislaman dan keindonesiaan yang ditawarkan Madjid sejalan
dengan konsep pribumisasi Islam-nya Abdurrahman Wahid. Keduanya sebenarnya
merupakan bentuk akulturasi Islam terhadap budaya setempat. Dalam hal ini,
Madjid menyatakan perlunya frame of reference (kerangka referensi) yang jelas
mengenai keindonesiaan. Dia merasa optimis bahwa semangat nasionalitas adalah
modal yang baik untuk mengarah pada terwujudnya konvergensi nasional, yakni
suatu bentuk saling pengertian yang berakar dalam semangat untuk saling memberi
dan menerima.
4. Islam
Yes, Partai Islam No!
Mangenai peranan umat Islam dalam bidang politik, Madjid mengetengahkan
pendapat “Islam yes, partai Islam no!”. Menurutnya, jika partai-partai Islam
merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, telah
jelas bahwa ide-ide tersebut sudah tidak menarik untuk masa sekarang. Karena
ide-ide tersebut sekarang sedang menjadi absolut, memfosil, dan kehilangan dinamika.
Kenyataannya, partai-partai Islam yang ada gagal dalam membangun citra positif
dan simpatik dan bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya semakin
banyaknya umat Islam yang melakukan korupsi. Madjid tidak setuju dijadikannya
Islam sebagai ideologi politik. Menurutnya, umat Islam tidak perlu menuntut
adanya negara Islam, karena yang terpenting adalah substansinya, bukan bentuk
formalnya. Dia lebih setuju terhadap konsep dan eksistensi negara nasional,
dalam hal ini negara pancasila[32].
5.
Sekularisasi bukan Sekularisme
Salah satu pemikiran Nurcholish Madjid yang mendapatkan banyak reaksi keras
adalah tentang sekularisasi. Madjid mengatakan bahwa Sekularisasi yang
dimaksudkannya tidaklah diarahkan untuk penerapan sekularisme. Menurutnya,
yang dimaksud dengan sekularisasi adalah setiap bentuk liberating development.
Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam dalam perjalanan sejarahnya
tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangka Islami, mana yang
transendental dan mana yang sifatnya temporal. Oleh karena itu, sekularisasi
harus dipahami sebagai sebuah proses perkembangan yang membebaskan, yang
menginginkan umat Islam melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme
Islam dengan kenyataan-kenyataan dewasa ini. Relevan pula dengan fungsi mereka
sebagai khalifah Allah di atas bumi.
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan merubah
Muslim menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai
yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan
untuk mengukhrawikannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji
kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan moral, material, ataupun
historis, menjadi sifat kaum muslimin. Mengenai banyaknya sikap kontra
terhadap idenya tersebut, Madjid mengatakan bahwa Ia tidak pernah menganjurkan
sekularisme akan tetapi sekularisasi”.
Pemahaman
terhadap agama itu sendiri, oleh Nurcholis Madjid tidak boleh disaklarkan,
sehingga diperlukan secara kontinyu usaha-usaha membangkitkan kembali ilmu
pengetahuan yang telah hilang di masa-masa kejayaan masyarakat salaf untuk
memahami kembali pesan-pesan agama. Nampaknya Nurcholis Madjid menginginkan
umat Islam tidak secara parsial memahami Islam dengan hanya menakankan pada
masalah fiqhiyah. Apalagi
fiqih itu sendiri tak lebih merupakan usaha-usaha ulama dalam
mengkontektualisaikan ajaran Islam. Secara logis karena ulama itu sendiri
adalah manusia, maka tafsiran ulama tersebut tidak bisa dilepaskan dari sifat
kemanuisaannya, dan tak pantas dianggap absolut. Karena mengabsolutkan pikiran
ulama – sama artinya mengobsolutkan sesuatu selain Tuhan – secara theologis
bisa berakibat pada kesyirikan kepada Allah, Tuhan yang maha absolut.
Kesimpulan :
Pemikiran
Pokok :Nurcholish Madjid dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi
keberagaman/ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Nurcholish Madjid,
keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini
keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat
mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk
agama yang sama. Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang
berbeda-beda, dan dalam hal ini Nurcholish Madjid mendukung konsep kebebasan
dalam beragama. Bebas dalam konsep Nurcholish Madjid tersebut dimaksudkan
sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan
tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Nurcholish Madjid meyakini bahwa
manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan
yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan
dalam memilih adalah konsep yang logis. Manusia akan bertanggung jawab secara
pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang
dipertanggung jawabkan. Maka pahala ataupun dosa akan menjadi benar-benar
imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan. FATWA MUI No. 7 Tahun 2005 Sekularisme,
Pluralisme dan Liberalisme Agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam, dan hukumnya HARAM.
3.
Jamaluddin
Al-Afghani
Jamaluddin
Al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistas tahun
1839 dan meninggal di Istambul tahun 1897[33]. Tetapi
penelitian para sarjana menunjukkan bahawa ia sebenarnya lahir di kota yang
bernama sama (As’adabad) tetapi bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Ini
menyebabkan banyak orang, khususnya mereka di Iran lebih suka menyebut pemikir
pejuang muslim modernis itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani, walaupun dunia telah
terlanjur mengenalnya sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri,
dengan sebutan Al-Afghani[34]. Ia
mempunyai pertalian darah dengan Husein bin Ali melalui Ali At-Tirmizi,ahli
hadis terkenal. Keluarganya mengikuti mazhab Hanafi. Ia adalah seorang
pembaharu yang berpengaruh di Mesir. Ia menguasai bahasa-bahasa Afghan, Turki,
Persia, Perancis dan Rusia[35].
Al-Afghani
berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat
telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qada dan qadar
telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang enjadikan umat menjadi statis.
Sebab-sebab lain lagi adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri,
lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi semua
hal itu antara lain menurut pendapatnya ialah umat Islam harus kembali
kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban
untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis,
dan persatuan umat Islam hars diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan
tuntutan zaman. Ia juga menganjurkan umat Islam untuk mengembangkan
pendidikan secara umum, yang tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam
secara politis dalam menghadapi dominasi dunia barat. Ia berpendapat tidak ada
sesuatu dalam ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal/ilmu pengetahuan, atau
dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan[36]. Selanjutnya
bagaimana ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik Al-Afghani tentangnegara
dan sistem pemerintahan akan diuraikan berikut ini :
1.
Bentuk negara dan pemerintahan
Menurut
Al-Afghani, Islam menhendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab,
di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk
kepada Undang-Undang Dasar[37]. Pendapat
seperti ini baru dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya
mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot. Pendapat ini tampak
dipengaruhi oleh pemikiran barat, sebab barat lebih dahulu mengenal
pemerintahan republik, meskipun pemahaman Al-Afghani tidak lepas terhadap
prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan
kenegaraan. Penafsiran atau pendapat tersebut lebih maju dari Abduh yaitu Islam
tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan , maka bentuk demikianpun harus
mengikuti masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Pemunculan
ide Al-Afghani tersebut sebagai reaksi kepada salah satu sebab
kemunduran politis yaitu pemerintah absulot[38].
2.
Sistem Demokrasi
Di
dalam pemerintahan yang absulot dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat,
kebebasan hanya ada pada raja/kepala gegara untuk bertindak yang
tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki agar corak
pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan Musyawarahi[39].
Pemerintahan
demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas dari dari
pemerintahan yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan
republik sebagaimana berkembang di barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal
Attaturk di Turki sebagai ganti pemerintahan khalifah. Dalam pemerintahan
negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura dengan
pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman. karena pengetahuan
manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan oleh Allah
dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai urusan.
Selanjutnya
ia berpendapat pemerintahan otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu
tidak sesuai dengan ajaran Islamyang sangat menghargai hak-hak individu. Maka
pemerintahan otokrasi harus diganti dengan pemerintahan yang bercorak demokrasi
yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Menurut Al-Afghani, pemerintahan yang
demokrasi menghendaki adanya majelis perwakilan rakyat. Lembaga ini bertugas
memberikan usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan
negara. Urgensi lembaga ini untuk menghindari agar tidak muncul pemerintahan
yang absulot. Ide atau usul para wakil rakyat yan berpengalaman merupakan
sumbangan yang berharga bagi pemerintah. Karena itu para wakil rakyat harus
yang berpengetahuan dan berwawasan luas serta bermoral baik. Wakil-wakil rakyat
yang demikian membawa dampak positif terhadap pemerintah sehingga akan
melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat[40].
Selanjutnya,
para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat kepada
undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan suku, ras,
kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui
pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang terpilih
memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu.
3.
Pan Islamisme / Solidaritas Islam
Al-Afghani
menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih
jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini
menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah
keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya
rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja
mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas
serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam[41].
Kesatuan
benar-benar menjadi tema pokok pada tulisan Al-Afghani. Ia menginginkan agar
umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan.
Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin
harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan kesatuan
nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama. Bahkan perbedaan
besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani
sehingga ia menyerukan kepada bangsa Persia dan Afghan supaya
bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua adalah bukan, dan
selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi umum dari kedua
sekte tersebut.
Meskipun
semua ide Al-Afghani bertujuan untuk mempersatukan umat Islam guna
menanggulangi penetrasi barat dan kekuasaan Turki Usmani yang dipandangnya
menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islamnya itu tidak jelas. Apakah
bentuk-bentuk kerjasama tersebut dalam rangka mempersatukan umat Islam dalam
bentuk asosiasi, atau bentuk federasi yang dipimpin oleh seseorang atau
badan yang mengkoordinasi kerjasama tersebut, dan atau seperti negara
persemakmuran di bawah negara Inggris. Sebab ia mengetahui adanya kepala
negara di setiap negara Islam. Tapi, menurut Munawwir Sjadzali, Pan-Islamismenya
Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar negara-negara Islam dan umat Islam
di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman interen, para pengusaha muslim
yang lalim, menentang kolonialisme dan imperialisme barat serta mewujudkan
keadilan[42].
Al-Afghani
menekankan solidaritas sesama muslim karena ikatan agama, bukan ikatan teknik
atau rasial. Seorang penguasa muslim entah dari bangsa mana datangnya, walau
pada mulanya kecil, akan berkembang dan diterima oleh suku dan bangsa lain
seagama selagi ia masih menegakkan hukum agama. Penguasa itu hendaknya dipilih
dari orang-orang yang paling taat dalam agamanya, bukan karena pewarisan,
kehebatan sukunya atau kekayaan materialnya, dan disepakati oleh anggota
masyarakatnya[43].
Inilah ide pemikir orisinil yang merupakan solidaritas
umat yang dikenal dengan Pan-Islamisme atau Al-Jamiah al Islamiyah
(Persaudaraan sesama umat Islam sedunia. Namun usaha Al-Afghani tentang Pan-Islamismenya
ini tidak berhasil.
Kesimpulan:
1. Menyebarkan jiwa kebangkitan ke dunia timur sehingga dapat membangkitkan mereka dalam bidang kebudayaan, ilmu pendidikan, dan jernihnya agama, dan bersihnya akidah mereka dari reruntuhan dan akhlak mereka seperti sekarang ini, dan mengembalikan kemuliaan
2. Melawan pendudukan asing agar dunia timur kembali memperoleh kemerdekaannya, dan mengadakan hubungan satu sama lainnya untuk dapat bersama-sama melindungi diri mereka dari bahaya yang mengancam diri mereka
1. Menyebarkan jiwa kebangkitan ke dunia timur sehingga dapat membangkitkan mereka dalam bidang kebudayaan, ilmu pendidikan, dan jernihnya agama, dan bersihnya akidah mereka dari reruntuhan dan akhlak mereka seperti sekarang ini, dan mengembalikan kemuliaan
2. Melawan pendudukan asing agar dunia timur kembali memperoleh kemerdekaannya, dan mengadakan hubungan satu sama lainnya untuk dapat bersama-sama melindungi diri mereka dari bahaya yang mengancam diri mereka
4.
Qasim
Amien
Qasim Amin Bik, dilahirkan pada bulan
Desember 1863 di kota Iskandaria, Mesir. Ayahnya, Muhammad Bik Amin adalah
keturunan Turki yang menetap di Mesir. Ketika Kerajaan Turki Usmani berjaya
dan menguasai seluruh kawasan Arab, para pejabat tinggi kerajaan diberi tugas
khusus pada setiap propinsi yang ada di wilayah Kerajaan Usmani. Muhammad Bik
Amin, sebagai salah seorang pejabat kerajaan, mendapat tugas di Mesir. Dalam
pelaksanaan tugasnya itu, ia mengawini puteri penduduk setempat. Dari hasil
perkawinannya itu, lahirlah puteranya yang diberi nama Qasim Amin Bik.
Karenanya, pada diri Qasim Amin mengalir darah Turki dan Arab Mesir[44].
Sebagian
dari kehidupan keluarga Muhammad Bik Amin dijalaninya di Iskandariyah, dan
karenanya, Qasim Amin memulai pendidikannya di Madrasah Ra’s al-Tin (setingkat
Sekolah Dasar) di kota ini. Ketika keluarga tersebut berpindah tempat tinggal
di Kairo, maka Qasim juga pindah ke Madrasah Tajhiziyah (setingkat Tsanawiyah).
Setelah tamat dari madrasah ini, Qasim memasuki perguruan tinggi dengan memilih
Fakultas Hukum. Ia memperoleh gelar lisanis (lc.) pada tahun 1881 dengan
menduduki peringkat pertama, dalam usia yang masih relatif muda, 18 tahun.
Setelah
itu, ayahnya mengutus Qasim ke Maktab al-Mahami (pimpinan Mushtafa Fahmi).
Kemudian ia menjabat sebagai Kepala Kementerian selama 18 tahun, hingga Mesir
berada di bawah kekuasaan Inggris. Selanjutnya, Qasim bergabung dengan keluarga
Sa’ad Zaglul hingga ia mempersunting anaknya, Zhafiyah. Namun, sebelum ia
tinggal bnersama isterinya, Qasim berangkat ke Francis sebagai utusan untuk
mempelajari hukum dan perundang-undangan.
Ketika
di Paris, Qasim bertemu dengan Jamal al-Din al-Afgani dan Muhammad ‘Abduh. Dari
‘Abduh-lah, Qasim belajar bahasa perancis. Atas kerja sama mereka bertiga, ia
membentuk media “Surat Kabar” yang diberi nama al-‘Urwah al-Wustqa. Dalam media
itulah, mereka menyuarakan gerakan nasionalisme. Sekembalinya dari Paris, Qasim
bekerja pada Pengadilan Mesir, dan pekerjaan itu digelutinya hingga ia wafat
pada tahun 1908, dalam usia 45 tahun.
menulis
buku berbahasa Perancis berjudul Les Egyptiens diterjemahkan dalam
bahasa Arab
dengan
al-Misriyyun (Bangsa Mesir) pada tahun 1894. Kitab ini ditulis
untuk merespon karya penulis orientalis dari Perancis Duc d’harcourt yang
berjudul Misra wa al Misriyyun (Mesir dan warganya). Dalam bukunya
tersebut Duc d’harcourt mengkritik budaya Mesir yang terbelakang dan dalam satu
bab khusus menulis tentang tradisi yang membelenggu kebebasan perempuan Mesir.
Ia mengkritik tentang hijab dan tradisi patriarkhi dalam keluarga di Mesir. Sebagai
warga Mesir yang memiliki jiwa nasionalisme, Qasim tidak dapat tenang membaca karya
Duc d’harcourt tersebut hingga ia jatuh sakit selama dua minggu.25 Karena itu
ia tergerak menjawab kritikan Duc d’harcourt dengan menulis kitab Al-Misriyyun.
Dalam kitab tersebut Qasim berusaha menjawab kritikan Duc d’harcourt dengan
membela agama dan bangsanya, tidak lupa dalam satu bab khusus Qasim membela
budaya perempuan Arab khususnya Mesir tentang budaya yang berlaku bagi mereka
ketika itu seperti hijab dan poligami bahkan ia mengkritik kebebasan di Barat
yang menurutnya malah merendahkan derajat perempuan. Namun lima tahun kemudian,
pada tahun 1899, Qasim menulis buku yang berjudul Tahrir al-Mar’ah. Dalam
buku tersebut, Qasim berbalik membela kebebasan perempuan Eropa dan mengkritik
budaya Mesir yang mendiskriminasikan perempuan. Jadi pemikiran Qasim tentang, perempuan
dalam kitab Al-Misriyyun berbeda dengan pandangannya tentang perempuan dalam
kitab Tahrir al-Mar’ah. Di bawah ini akan dibahas sekilas tentang tiga
hal penting karya Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar’ah yang berbeda dengan
tulisannya dalam al-Misriyyunn :
1.
Hijab
Dalam buku al-Misriyyun yang terbit pada
tahun 1894, Qasim Amin membela tradisi hijab yang memasyarakat pada kaum
perempuan Timur ketika itu, baik sebagai pakaian atau sebagai bentuk pemisahan
antara lelaki dengan perempuan. Ia menolak tuduhan Duc d’harcourt yang beranggapan
bahwa hijab merupakan bentuk isolasi kaum perempuan dari pergaulan.27 Menurut
Qasim, dalam Islam, persamaan antara lelaki dan perempuan telah terwujud karena
apa yang diharamkan bagi perempuan juga diharamkan bagi pria/laki-laki.28 Jika perempuan
dilarang bergaul dengan kalangan kaum laki-laki begitu juga sebaliknya seorang lelaki
akan terlarang bergabung dalam komunitas perempuan. Lebih lanjut, ia menegaskan
bahwa dalam tradisi Arab, hijab harus dipertahankan karena ia merupakan bentuk
ajaran agama Islam dan memiliki nilai positif bagi pergaulan lelaki dan perempuan.
Hijab memuliakan kaum perempuan, sebaliknya pergaulan bebas yang berlangsung di
Eropa merupakan tanda tidak menghargai perempuan dan menimbulkan dampak
negative yang dapat mengurangi derajat dan wibawa seorang perempuan.31 Maka
perempuan Mesir tidak membutuhkan perubahan tetapi yang harus berubah adalah
bangsa Eropa.32 Bahkan ia mengusulkan agar peradaban Eropa menginduk pada
peradaban Islam.33 Namun lima tahun kemudian, pembelaannya tersebut dia bantah
sendiri dalam bukunya “Tahrir al-Mar’ah”. Menurutnya, hijab hanyalah
tradisi orang Arab dan bukan kewajiban dalam agama Islam. Maka perubahan
tradisi berhijab sangat memungkinkan sesuai dengan tuntutan zaman sebagaimana
tradisi hijab dalam bangsa Yunani atau Eropa.34 Lebih lanjut Qasim mengajak
meneliti tentang tinjauan hukum Islam terhadap bentuk hijab yang dianjurkan
dalam Islam yaitu menutup seluruh badan perempuan kecuali wajah dan telapak
tangan. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa tidak terdapat dalam Alquran dan
Hadis ajaran yang mengatakan bahwa wajah perempuan merupakan aurat sehingga
wajahnya harus ditutup. Penutupan wajah hanyalah kebiasaan yang kemudian
dianggap sebagai ajaran agama Islam. Selain itu hijab tidak boleh diartikan
sebagai bentuk pemisahan ruang pergaulan antara lelaki dan perempuan karena
tidak ada anjurannya di dalam Alquran dan Hadis[45]. Hijab
sebagai penutup tubuh perempuan termasuk wajah dan sebagai bentuk pemisahan ruang
lelaki dan perempuan membawa perempuan berkedudukan rendah, menghambat kebebasan,
dan pengembangan daya keahlian mereka untuk mencapai kesempurnaan.
2.
Pembatasan Kekuasaan Talak
Dalam al-Misriyyun, Qasim membela adanya
kekuasaan talak yang mutlak di tangan suami dan tidak menyetujui jika
perceraian diputuskan melalui pengadilan. Namun dalam kitab Tahriral-Mar’ah Qasim
menarik pendapatnya tersebut dan membatasi kekuasaan talak di tangan suami dengan
beberapa syarat, yaitu;
1.
Perceraian terjadi karena ada keinginan kuat untuk itu,
2.Harus
ada saksi dalam proses talak,
3.
Menghadirkan pihak ketiga sebagai juru damai antara
suami-istri,
4.
Talak terjadi karena putusan pengadilan.37
Menurutnya,
dalam masalah perkawinan harus ada hak yang sama antara laki-laki dan
perempuan
baik dalam memilih jodoh maupun hak cerai. Sehingga hak tersebut tidak mutlak
di
tangan para pria.38
3.
Poligami
Dalam al-Misriyyun, Qasim membolehkan para
suami untuk beristri lebih dari satu hingga empat jika ada sebab yang mendesak
untuk berpoligami. Selain itu suami harus mampu berlaku adil kepada para
istrinya dan mampu memberi nafkah yang layak bagi keluarganya. Meskipun demikian,
Qasim menganjurkan agar para lelaki sebaiknya hanya memiliki seorang istri. Bahkan
dalam kitab tersebut, Qasim mengkritik pendapat yang melarang poligami hanya
karena
alasan poligami menciptakan ketidakharmonisan berumah tangga dan rentan menimbulkan percekcokan antara para istri dan
anak-anak mereka. Menurutnya ketidakharmonisan dalam rumah tangga tidak berkaitan
dengan adanya poligami. Seperti halnya hijab dan perceraian, pendapat Qasim
tentang poligami berubah dalam kitab Tahrir al-Mar’ah. Menurutnya, tak
seorang pun perempuan yang ingin dimadu dan kalau seorang lelaki menikah dengan
istri kedua berarti ia mengabaikan perasaan istri pertama. Tidak ada alasan
bagi seorang lelaki untuk memiliki istri lebih dari satu kecuali terpaksa. Sedangkan
firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 3 memang menjelaskan tentang diperbolehkannya
berpoligami jika aman dari penyimpangan. Namun, poligami dapat menjadi haram
jika perbuatan tersebut justeru menimbulkan bahaya dan ketidakadilan yang menyebabkan
permusuhan dalam rumah tangga. Maka demi kemaslahatan bersama, Qasim mengusulkan
agar para hakim menolak adanya poligami. Maka meskipun poligami disebutkan dalam
Alquran, Qasim berpendapat bahwa Islam pada hakekatnya menganjurkan monogamy[46].Buku
Tahrir al-Mar’ah memang fenomenal pada waktu itu karena kaitannya dengan
kritik sosial dan agama. Maka Qasim Amin harus rela mendapat kritik tajam atas
karyanya tersebut, sehingga membuatnya sering menyendiri di rumah. Namun berkat
dorongan Sa’ad Zaghlul untuk tetap bersemangat membuat Qasim bersemangat untuk
menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku berjudul al-Mar’ah al-Jadidah sebagai
jawaban atas kritikan yang berdatangan terhadap kitab Tahrir al-Mar’ah. Dalam
kitab Tahrir al-Mar’ah, Qasim lebih banyak mengkritik tradisi Arab yang
sudah dianggap sebagai ajaran baku dari agama Islam. Menurutnya, tradisi
bukanlah agama, ia hanya merupakan hasil dari penafsiran agama yang tidak
bersifat baku. Maka perlu adanya reinterpretasi terhadap ajaran agama khususnya
mengenai permasalahan yang berkaitan dengan perempuan.Qasim berusaha menguatkan
pendapatnya dengan mengambil referensi dari pendapat para ulama yang dikuatkan
dengan penafsiran Alquran. Jika dalam Tahrir al- Mar’ah Qasim banyak
merujuk pada pendapat para ulama muslim maka dalam al-Mar’ah al-Jadidah Qasim
lebih merujuk kepada pemikiran para orientalis dan pendekatan sosiologis. Dalam
al-Mar’ah al-Jadidah, Qasim lebih kuat mempertahankan kebebasan perempuan.
Ia menekankan agar kaum perempuan sebagai anggota masyarakat terus aktif belajar
dan berkarir untuk memajukan harkat dan wibawanya. Menurutnya, kebebasan
demikian, Qasim menganjurkan agar para lelaki sebaiknya hanya memiliki seorang
istri. Bahkan dalam kitab tersebut, Qasim mengkritik pendapat yang melarang
poligami hanya karena alasan poligami menciptakan ketidakharmonisan
berumahtangga dan rentan menimbulkan percekcokan antara para istri dan
anak-anak mereka. Menurutnya ketidakharmonisan dalam rumah tangga tidak berkaitan
dengan adanya poligami. Seperti halnya hijab dan perceraian, pendapat Qasim
tentang poligami berubah dalam kitab Tahrir al-Mar’ah. Menurutnya, tak
seorang pun perempuan yang ingin dimadu dan kalau seorang lelaki menikah dengan
istri kedua berarti ia mengabaikan perasaan istri pertama. Tidak ada alasan
bagi seorang lelaki untuk memiliki istri lebih dari satu kecuali terpaksa. Sedangkan
firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 3 memang menjelaskan tentang diperbolehkannya
berpoligami jika aman dari penyimpangan. Namun, poligami dapat menjadi haram
jika perbuatan tersebut justeru menimbulkan bahaya dan ketidakadilan yang menyebabkan
permusuhan dalam rumah tangga. Maka demi kemaslahatan bersama, Qasim mengusulkan
agar para hakim menolak adanya poligami. Maka meskipun poligami disebutkan dalam
Alquran, Qasim berpendapat bahwa Islam pada hakekatnya menganjurkan monogami. Buku
Tahrir al-Mar’ah memang fenomenal pada waktu itu karena kaitannya dengan
kritik sosial dan agama. Maka Qasim Amin harus rela mendapat kritik tajam atas
karyanya tersebut, sehingga membuatnya sering menyendiri di rumah. Namun berkat
dorongan Sa’ad Zaghlul untuk tetap bersemangat membuat Qasim bersemangat untuk
menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku berjudul al-Mar’ah al-Jadidah44 sebagai
jawaban atas kritikan yang berdatangan terhadap kitab Tahrir al-Mar’ah. Dalam
kitab Tahrir al-Mar’ah, Qasim lebih banyak mengkritik tradisi Arab yang
sudah dianggap sebagai ajaran baku dari agama Islam. Menurutnya, tradisi
bukanlah agama, ia hanya merupakan hasil dari penafsiran agama yang tidak
bersifat baku[47].
Maka perlu adanya reinterpretasi terhadap ajaran agama khususnya mengenai
permasalahan yang berkaitan dengan perempuan. Qasim berusaha menguatkan
pendapatnya dengan mengambil referensi dari pendapat para ulama yang dikuatkan
dengan penafsiran Alquran. Jika dalam Tahrir al- Mar’ah Qasim
banyak merujuk pada pendapat para ulama muslim maka dalam al-Mar’ah al-Jadidah
Qasim lebih merujuk kepada pemikiran para orientalis dan pendekatan
sosiologis. Dalam al-Mar’ah al-Jadidah, Qasim lebih kuat mempertahankan
kebebasan perempuan. Ia menekankan agar kaum perempuan sebagai anggota
masyarakat terus aktif belajar dan berkarir untuk memajukan harkat dan
wibawanya. Menurutnya, kebebasan.
Kesimpulan
Pemikiran Qasim Amin :
Perhatian Qasim Amin terhadap fikih perempuan tidak
terlepas dari pengaruh jajahan
Inggris
dan Perancis di Mesir, yang membuka modernisasi di Mesir. Modernisasi tersebut membuka
peluang bagi warga Mesir untuk belajar di luar negeri salah satunya ke Perancis
seperti yang dialami Qasim Amin. Kritikan D’Couhourt pada warga Mesir yang mendiskriminasikan
perempuan menggerakkan Qasim Amin untuk membela negaranya dengan menulis buku al-Misriyyun.
Namun dengan bertambahnya masa interaksinya dengan budaya Perancis
menjadikannya pada tahun 1899 menerbitkan bukunya yang berjudul Tahrir
al-Mar’ah (Emansipasi Perempuan). Dalam buku ini, dia memperjuangkan
pendidikan perempuan sebagai suatu hak pemberian Tuhan, mengkritik hijab,
talak, dan poligami. Ide-idenya menuai kritik tajam karena dianggap menyalahi
tradisi ketika itu yang dianggap sudah baku. Teori sosiologi yang berkaitan
dengan pemikiran Qasim Amin adalah teori konflik yang dikemukakan Lewis A. Coser
dan kepribadian kreatif David MacLelland. Bahwa pemikirannya berkembang setelah
adanya konflik dengan D’Couhourt dan ia memiliki pribadi kreatif yaitu hasrat
untuk membela dan mengubah pemahaman warga Mesir tentang perempuan dengan menuangkan
ide-idenya dalam buku al-Misriyyun, Tahrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah
al-Jadidah.
5.
MUSTAFA
KEMAL
Mustafa
lahir pada di Salonika (Turki) pada tahun 1881 M. Ia diberikan
gelar Attartuk yang artinya Bapak Turki. Gelar itu diperoleh
karena ia telah menyelamatkan bangsa Turki dari penjajahan Barat yaitu, Yunani
yang dibantu oleh tentara sekutu (Inggeris, Perancis dan Amerika), yang
mendarat di Turki pada tanggal 15 Mei 1919 M. Untuk melawan Sultan Abdul Hamid
II, ia bersama dengan teman-temannya
( Ali
Fuad, Rauf, dan Refat), mendirikan perkumpulan rahasia yang bernamaVatan ve
Hurriyet yang berarti : Tanah Air dan Kemerdekan. Perkumpulan ini
merupakan cikal bakal lahirnya Partai Nasionalis di Turki. Prinsip
Pemikiran Pembaruan Mustafa Kemal di awali ketika ia ditugaskan sebagai attase
militer pada tahun 1913 di Sofia. Dari sinilah ia berkenalan dengan peradaban
Barat, terutama system parlementernya. Adapun prinsip pemikiran pembaharuanTurki
yang kemudian menjadi corak ideologinya terdiri dari tiga unsur, yakni;
nasionalisme, sekularisme dan westernisme[48].
Pertama,
unsur
nasionalisme dalam pemikiran Mustafa Kemal diilhami oleh Ziya Gokalp
(1875-1924) yang meresmikan kultur rakyat Turki dan menyerukan reformasi Islam
untuk menjadikan Islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Dalam koridor
pemahaman Mustafa Kemal, Islam yang berkembang di Turki adalah Islam yang telah
dipribumikan ke dalam budaya Turki. Oleh karenanya, ia berkeyakinan bahwa Islam
pun dapat diselaraskan dengan dunia modern.
Turut
campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan akan membawa kemunduran pada
bangsa dan agama. Atas dasar itu, agama harus dipisahkan dari negara.Islam
tidak perlu menghalang ia dopsi Turki sepenuhnya terhadap peradaban Barat, karena
peradaban Barat bukanlah Kristen, sebagaimana Timur bukanlah Islam[49].
Kedua,
unsur
sekularisme. Unsur ini sebenarnya adalah implikasi dari pemahaman westernisme
Mustafa Kemal. Pada prinsip ini, salah seorang pengikut setia Mustafa Kemal,
Ahmed Agouglu menyatakan bahwa indikasi ketinggian suatu peradaban terletak
pada keseluruhannya, bukan secara parsial. Peradaban Barat dapat mengalahkan
peradaban-peradaban lain, bukan hanya karena kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologinya, tetapi karena keseluruhan unsur-unsurnya. Peperangan antara Timur
dan Barat adalah peperangan antara dua peradaban, yakni peradaban Islam dan
peradaban Barat. Di dalam peradaban Islam, agama mencakup segala-galanya mulai
dari pakaian dan perkakas rumah sampai ke sekolah dan institusi. Turut
campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan membawa kepada mundurnya Islam,
dan di Barat sebaliknya sekularisasilah yang menimbulkan peradaban yang tinggi
itu. Jika ingin terus mempunyai wujud rakyat Turki harus mengadakan sekularisasi
terhadap pandangan keagamaan, hubungan sosial dan hukum. Menurut versi Mustafa
kemal, sekularisme bukan saja memisahkan masalah bernegara (legislatif,
eksekutif dan yudikatif) dari pengaruh agama melainkan juga membatasi peranan
agama dalam kehidupan orang Turki sebagai satu bangsa. Sekularisme ini adalah
lebih merupakan antagonisme terhadap hampir segala apa yang berlaku di masa
Usmani.
Ketiga, unsur wasternisme.
Ketiga, unsur wasternisme.
Dalam
unsur ini, Mustafa Kemal berpendapat bahwa Turki harus berorientasi ke Barat.
Ia melihat bahwa dengan meniru barat negara Turki akan maju. Unsur westernisme
dalam prinsip pemikiran Mustafa Kemal mendapatkan momennya ketika dalam salah
satu pidatonya ia mengatakan bahwa kelanjutan hidup suatu masyarakat di dunia
peradaban modern menghendaki perobahan dalam diri sendiri. Di zaman yang
dalamnya ilmu pengetahuan mampu membawa perobahan secara terus-menerus, maka
bangsa yang berpegang teguh pada pemikiran dan tradisi yang tua lagi usang
tidak akan dapat mempertahankan wujudnya. Masyarakat Turki harus dirubah
menjadi masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan
reaksioner harus dihancurkan.Dari ketiga prinsip di atas, kemudian melahirkan
ideologi kemalisme,yang terdiri atas: republikanisme
nasionalisme,kerakyatan,sekularisme,etatisme,dan revolusionisme.
Ideologi
yang diasosiasikan dengan figur Mustafa Kemal ini kemudian berkembang di Turki
dan dikembangkan oleh pengikutnya. Dan jika dilihat dari perkembangan tersebut
di atas, Republik Turki adalah negara sekuler.
Mustafa
Kemal sebenarnya seorang nasionalis pengagum barat, yang Islam maju, sebab itu
perlu diadakan pembaharuan dalan soal agama untuk disesuaikan dengan bumi
Turki. Islam adalah agama rasional dan perlu bagi manusia, tetapi agama yang
rasional ini telah dirusak oleh ulama-ulama oleh karena itu, usaha
sekularisasinya berpusat pada menghilangkan kekuasaan golongan ulama dalam soal
negara dan politik. Negara harus dipisahkan dari agama.
Dengan pandangan Mustafa Kemal seperti yang disebutkan di atas, maka lahirlah pendapatnya antara lain; Qur’an perlu diterjemahkan kedalam bahasa Turki, azan juga perlu dengan bahasa Turki, khutbah dengan bahasa Turki. Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup, diganti fakultas Ilahiyat untuk mendidik imam sholat, khotib-khotib, dan pembaharuan-pembaharuan yang diperlukan. Akan tetapi prinsif dan pandangan Mustafa Kemal seperti yang telah dikemukakan diatas, tidak serta merta menghilangkan kultur keagamaan sebagai buktinya Mustafa Kemal mendirikan penggantinya yaitu Departemen Urursan Agama. Negara menjamin kebebasan beragama, sehingga sekularisasi yang dijalankan tidak menghilangkan agama. Yang berusaha dihapus adalah kekuasaan ulama dalam soal politik dan negara. Karena Mustafa Kemal berpendapat agama adalah masalah pribadi.Mencermati pemikiran yang dikembangkan seorang Mustafa Kemal yang kemudian diaplikasikan sebagai bentuk ide pembaharuan pada kultur Turki adalah sebuah keniscayaan berdasarkan tuntutan situasi dan zaman saat itu. Betapa tidak bahwa Islam yang berkembang sejak abad ke VII di jazirah Arab yang kemudian merambah keluar Arab, didalam perjalananya mengalami gesekan dan pergeseran prinsif dan kepentingan.
Prinsif musyawarah yang menjadi dogma ajaran yang harus dikembangkan dalam rana kehidupan sosial kemasyarakatan termasuk dalam urusan ”bernegara” seperti yang diisyaratkan al-Qur’an :…. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
Dengan pandangan Mustafa Kemal seperti yang disebutkan di atas, maka lahirlah pendapatnya antara lain; Qur’an perlu diterjemahkan kedalam bahasa Turki, azan juga perlu dengan bahasa Turki, khutbah dengan bahasa Turki. Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup, diganti fakultas Ilahiyat untuk mendidik imam sholat, khotib-khotib, dan pembaharuan-pembaharuan yang diperlukan. Akan tetapi prinsif dan pandangan Mustafa Kemal seperti yang telah dikemukakan diatas, tidak serta merta menghilangkan kultur keagamaan sebagai buktinya Mustafa Kemal mendirikan penggantinya yaitu Departemen Urursan Agama. Negara menjamin kebebasan beragama, sehingga sekularisasi yang dijalankan tidak menghilangkan agama. Yang berusaha dihapus adalah kekuasaan ulama dalam soal politik dan negara. Karena Mustafa Kemal berpendapat agama adalah masalah pribadi.Mencermati pemikiran yang dikembangkan seorang Mustafa Kemal yang kemudian diaplikasikan sebagai bentuk ide pembaharuan pada kultur Turki adalah sebuah keniscayaan berdasarkan tuntutan situasi dan zaman saat itu. Betapa tidak bahwa Islam yang berkembang sejak abad ke VII di jazirah Arab yang kemudian merambah keluar Arab, didalam perjalananya mengalami gesekan dan pergeseran prinsif dan kepentingan.
Prinsif musyawarah yang menjadi dogma ajaran yang harus dikembangkan dalam rana kehidupan sosial kemasyarakatan termasuk dalam urusan ”bernegara” seperti yang diisyaratkan al-Qur’an :…. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya. QS.AliImran(3):159 Ayat ini mengedepankan prinsif
musyawarah yang dapat diasumsikan sebagai salah satu pilar demokrasi dalam
urusan bernegara, dimana prinsif ini telah mengalami perobahan sejak beralihnya
tampuk kepemipinan dari periode ”Khalifah Rasyidah” kepada Muawiyah ibn Abi
Sufyan yang mengawali pendirian pemerintahan ”Dinasti” dimana tahta telah
menjadi hak waris bagi keturunan khalifah atau sultan yang
berlangsungsampairatusantahun.Sebagai akumulasi gejolak pemikiran dari para tokoh
pembaharu mengembangkan ide perubahan khususnya di Turki, yang kemudian
diwujudkan oleh seorang Mustafa Kemal mendirikan Negara Republik Turki Modern.
Penulis berpandangan bahwa usaha ini adalah sebuah tindakan dari ide cemerlang
untuk mengembalikan dogma prinsif al-Qur’an yang mengedepankan prinsip
musyawarah.
Nasionalisme,
sekularisme, dan westernisme yang menjadi ciri khas ide pembaharuan Mustafa
Kemal adalah sebuah konsekwesi logis dalam rangka membangun tatanan dan corak
kultur kehidupan masyarakatnya yang akan didesain sebagai masyarakat modern
dalam urusan bernegara, dan tetap menjamin berlangsungnya budaya kehidupan
beragama bagi masyarakatnya[50]. Hal
ini dapat dibuktikan dengan didirikannya ”Fakultas Ilahiyat” dan dibentuknya ”Departemen
Urusan Agama” dalam pemerintahannya.
Gerakan
pembaruan Turki Mustafa Kemal Ataturk dimulai dengan penghapusan Kesultanan Usmani
pada tahun 1923 dan penghapusan khilafah pada tahun1924. Lembaga wakaf dihapuskan
dan dikuasakan kepada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 beberapa thariqa tsufi
dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dihancurkan. Pada tahun1927 pemakai
antarbus dilarang.
Pada tahun 1928 diberlakukan tulisan latin
menggantikan tulisan Arab, dan dimulai upaya memurnikan bahasa Turki dari
muatan bahasa Arab dan Persi. Pada tahun 1935 seluruh warga Turki diharuskan
menggunakan namakecilsebagaimana berlaku pada pola nama Barat.
Sedangkan menurut ErickJ.Zurcher,
gerakan pembaruan Turki Mustafa Kemal tergambar dalam ideologi kemalisme yang mencakup
prinsip-prinsip:
Republikanisme,
nasionalisme, sekularisme, dan revolusionisme. Dalam lapangan agama, Mustafa Kemal
membuat sejumlah kebijakan, seperti pada tahun 1928, menggunakan bahasa Turki dalam
sholatnya[51].
Kesimpulan Pemikiran Mustafa kemal :
Di antara
pemikiran-pemikirannya adalah :
1). Perlu dihapuskannya
jabatan Khalifah diganti dengan jabatan Presiden yang dipilih oleh rakyat.
2). Negara tidak
ada lagi hubungannya dengan agama.
Sembilan
tahun kemudian, yaitu setelah prinsip sekulerisme dimasukkan ke dalam
Konstitusi di tahun 1937, barulah Republik Turki dengan resmi menjadi Negara
sekuler.
3).
Sekulerisme
Turki
telah melakukan eksperimen sejarah, dengan secara terang-terangan menyatakan
sebagai negara sekuler serta mengambil barat sebagai model. Dan tokohnya adalah
Mustafa Kemal-Attaturk.
4).
Nilai-nilai Agama harus menyesuaikan dengan sosio-kultural masyarakat.
Shalat
dengan bahasa turki/latin di dalamnya.
5).
Revolusi Westernisasi
Pemakaian
dan penerapan Prinsip-prinsip pemerintahan dalam bernegara dengan framework dan Value Negara barat.
BAB
III
KESIMPULAN
Pemikiran
Modern islam merupakan suatu konsep berpikir terhadap nilai – nilai islam itu
sendiri dalam pengamalan di kehidupan sehari – hari. Tujuannya untuk
memperbaiki dan meluruskan kembali nilai – nilai islam yang tidak di pahami dan
melenceng dari Al-Qur’an dan as - sunnah. Senantiasa akan ada orang-orang yang
ingin memadamkan cahaya alloh(islam) dengan berbagai cara salah satunya ialah
perang pemikiran “Gazwrul Fikr” dimana
seorang mu’min akan terombang-ambing kepada suatu pemikiran islam yang
sebenarnya pemikiran yang menyesatkan. Maka dari itu dengan kita mengetahui
beragam tokoh-tokoh pemikiran modern islam dalam makalah ini kita akan sejenak
berpikir betapa rapuhnya umat ini jika tidak ditopang dengan disiplin ilmu dan
aqidah yang kuat dan benar dalam memahami pemikiran islam dewasa kini. Agar
keyakinan dan pengamalan islam seseorang dapat benar – benar di terima dan
selaras dengan suri teladan kita yakni nabi Muhammad saw sebagai
pengimplementasi dari Al-Qur’an. Bukan malah sebaliknya kita pengamalan dari
pemikiran islam bersebrangan dengan teladan dari nabi Muhammad saw. Karna
bagaimanapun juga amalan yang tidak sesuai dengan amalan nabi Muhammad saw akan
tertolak. Mensyukuri bahwa nabi Muhammad ialah sebaik – baik pengimplementasi
Al-Qur’an dalam kehidupan dunia. Sehingga pada gilirannya dapat menyelamatkan
kita dalam kehidupan dunia dan akherat. Tidak ada perintah dan larangan islam
yang tidak sesuai dengan zaman yang ada ialah perintah dan larangan yang di
tinggalkan.
[1]
Lihat “Membangun peradaban islam”
,karya Hamid fahmi zarkasy
[2]
Lihat “, Falsafah Kalam” karya Amin
Abdullah, 1997, hlm.30.
[3]
Lihat Nurcholis Madjid, Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman, dalam
Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta ,1992, hlm. 458
[4]
Lihat Kamus besar bahasa indonesia
[5]
Ibid
[6]
Lihat “Pembaharuan dalam Islam”
,karya Harun nasution : Sejarah Pemikiran dan Gerakan
[8]
Lihat Wikipedia indonesia
[9]
Lihat “Risalah Pergerakan” , karya
Ash syahid Hasan Al-banna
[10]
Lihat Wikipedia indonesia
[11]
Lihat “Solusi islam” karya Dr.Yusuf
al-qardhawi
[12]
Lihat “Risalah Pergerakan” ,karya Ahs
syahid Hasan al-banna
[13] Lihat “Haula
Asāsiyyah al-Masyrū’ al-Islāmī li Nahdhah al-Ummah” , karya Abdul Hamid al-Ghazali
[15]
Lihat “Risalah Pergerakan” ,Karya Ash
syahid Hasan al-banna
[17]
Lihat “ Risalah pergerakan” ,karya
ash syahid Hasan al-banna
[18]
Lihat “Al-Qur’an surat al hujuraat ayat
13” , Mahakarya Alloh swt
[19]
Lihat “QS.asy syura:13” ,Mahakarya
Alloh swt
[20]
Lihat “Saksikan aku aktifis dakwah” ,
[21]
Lihat “ Risalah pergerakan” ,karya
ash syahid Hasan al-banna
[22]
Lihat “Wikipedia Indonesia”
[23]
Lihat “ Politik Islam” , Karya Nanang
Tahqiq
[24]
Lihat “ Khazanah Intelektual Islam”,
Karya Prof Dr. Nurcholish Madjid
[25]
Ibid
[26]
Ibid
[27]
Ibid
[28]
Lihat “Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim” Karya
Albert Hourani dalam “Khazanah
intelektual islam”
[29]
Lihat “khazanah intelektual islam”
,karya Prof Dr Nurcholis madjid
[30]
Ibid
[31]
Ibid
[32]
Ibid
[33]
Lihat “ Islam di Kawasan Kebudayaan Arab”
,karya Ali Mufrodi
[34]
Lihat “ Pembaharuan dalam Islam“
,Karya Harus Nasution
[35]
Ibid
[37]
Ibid
[38]
Lihat “Pembaharuan islam” ,karya
harun nasution
[39]
Ibid
[40]
Ibid
[41]
Lihat “Ali Mufrod”i, op.cit, h. 159
[42]
Lihat “Masa Lalu Umat dan Masa Kininya,
serta Pengobatan bagi Penyakit – penyakitnya” ,karya Jamaluddin al afgani
[43]
Ibid
[45]
Ibid
[46]
Ibid
[47]
Ibid
[49]
Ibid
[50]
Ibid
[51]
Ibid
0 komentar:
Posting Komentar