KONSEP PENDIDIKAN MENURUT PEMIKIRAN
IBNU MISKAWAIH DAN PEMIKIRAN IBNU SINA
A.
KONSEP
PENDIDIKAN MENURUT IBNU MISKAWAIH
I.
Riwayat
Singkat Ibnu Maskawaih
Ibnu Miskawaih
adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang berkonsentrasi pada bidang
filsafat akhlak. Dia lahir di Iran pada tahun 330 H/932 M dan meninggal tahun
421 H/1030 M. Ibnu Miskawaih melewatkan seluruh masa hidupnya pada masa
kekhalifahan Abassiyyah yang berlangsung selama 524 tahun, yaitu dari tahun 132
sampai 654 H /750-1258 M[1]. Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih[2].
Ibnu
Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak daripada sebagai cendekiawan
muslim yang ahli dalam bidang kedokteran, ketuhanan, maupun agama[3].
Dia adalah orang yang paling berjasa dalam mengkaji akhlak secara ilmiah. Bahkan
pada masa dinasti Buwaihi, dia diangkat menjadi sekretaris dan pustakawan. Dulu
sebelum masuk Islam, Ibnu Miskawaih adalah seorang pemeluk agama Magi, yakni
percaya kepada bintang-bintang[4].
II.
Riwayat
Pendidikan Ibnu Miskawaih
Riwayat
detail mengenai riwayat pendidikan Ibn Maskawaih tidak diketahui dengan jelas.
Maskawaih tidak menulis otobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak
memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun
dalam beberapa literatur di dapat ketemukan oleh penulis adalah sebagai berikut
: Ia belajar sejarah, terutama Tarikh At Thabary, kepada Abu Bakar Ahmad bin
Kamil al Qaghi (350 H/960 M). Ibn Al Khammar, mufassir kenamaan karya-karya
Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Maskawaih mengkaji
alkimia bersama abu At Thayyib ar Razi, seorang ahli alkimia.
III.
Konsep
Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Miskawaih
Pemikiran
pendidikan ibn Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia
dan akhlaq[5].
Untuk kedua masalah ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Dasar Pemikiran Ibnu Miskawaih
Terdapat
sejumlah pemikiran yang mendasari ibn miskawaih dalam bidang pendidikan.
Pemikiran tersebut antara lain:
a. Konsep Manusia
Sebagaimana
para filosof lainnya ibn miskawaih memandang manusia sebagai mahluk yang
memiliki macam-macam daya. Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya yaitu:
(1) daya bernafsu sebagai daya terendah, (2) daya berani sebagai daya
pertengahan (3) daya berfikir sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan
unsur rohani manusia yang asal kejadiannya berbeda.
b. Konsep Akhlaq
Akhlaq
menurut konsep ibnu miskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku
manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur lewat
kebiasaan dan latihan. Pemikiran ibn miskawaih dalam bidang akhlaq termasuk
salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan, konsep akhlaq yang
ditawarkan beradasar pada doktrin jalan tengah.
Doktrin
jalan tengah (al-wasath) yang dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah the
doktrin of the mean atau the golden ternyata sudah dikenal para filosof sebelum
ibn miskawah, filosof china,mencius (551-479) memiliki paham tentang doktrin
jalan tengah. Filosof yunani seperti Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322
SM) dan filosof muslim seperti Al-khindi dan ibnu Sina juga didapati memiliki
paham demikian.
Ibn
miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut
antara lain dengan keseimbangan,moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi
tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa
keutamaan akhlaq secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem
kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari sini terlihat
ibnu miskawaih memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jiwa manusia ada tiga, yaitu: jiwa
albahimiyah, alghadabiyah dan an natiqiyah. Menurut ibnu miskawaih posisi
tengah jiwa al bahimiyah adalah al Iffah yaitu menjaga diri dari berbuatan dosa dan maksiat, selanjutnya posisi tengah
jiwa al Ghadabiyah adalah as-Saja’ah atau perwira, yaitu keberanian yang
diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah jiwa an
Natiqiyah adalah al-hikmah, yaitu kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga
posisi tengah tersebut adalah keadilan dan keseimbangan.
Keempat
keutamaan akhlaq tersebut (al-iffah,as-saja’ah, al hikmah, dan al adalah)
merupakan pokok atau induk akhlaq yang mulia. Akhlaq-akhlaq mulia yang lainnya
seperti jujur, ihlas, kasih sayang, hemat dan sebagainya merupakan cabang dari
keempat induk tersebut[6].
Ibnu
miskawaih menolak pandangan orang-orang yunani yang mengatakan bahwa akhlaq
manusia tidak dapat berubah, bagi ibnu Miskawaih akhlaq yang tercela bisa
berubah menjadi ahlaq yang terpuji dengan jalan pendidikan (tarbiyah al-akhlaq)
dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini jelas sejalan dengan ajaran Islam
karena kandungan ajaran Islam secara eksplisit telah mengisyaratkan kearah ini
dan pada hakikatnya syari’at agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki
akhlaq manusia[7].
Berikut konsep pendidikan Ibnu miskawaih:
1. Tujuan Pendidikan Ibnu Miskawaih
Bertolak
dari dasar pemikiran tersebut, Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang
bertumpu pada pendidikan akhlaq. Disini terlihat dengan jelas bahwa Karena
dasar pemikiran Ibnu Miskawaih dalam
bidang akhlaq, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan
akhlaq. Tujuan pendidikan akhlaq dari ibnu Miskawaih ini Menurutnya tujuan
pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia maka dengan pendidikan
manusia dapat mencapai tujuannya yaitu kebaikan, kebahagian, dan kesempurnaan[8].
selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Tujuan Pendidikan Akhlaq
Tujuan
pendidikan akhlaq yang dirumuskan oleh Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu
mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik
sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
Dengan alasan ini, maka ahmad abd al-hamid as-sya’ir dan Muhammad yusuf musa
menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermadhab as-Sa’adat di bidang
akhlaq. al Sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup
manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlaq, makna as-Sa’adat sebagaimana
dinyatakan M.abd Hak Anshari tidak mungkin dapat dicari padanan katanya dalam
bahasa inggris walaupun secara umum diartikan Happiness menurutnya as-Sa’adah merupakan konsep
komprehensif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness)
kemakmuran (prosperity) keberhasilan ((success), kesempurnaan (perfection)
kesenangan (blesednes) dan kecantikan (beautitude).
Berdasarkan
uraian diatas maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai ibn miskawaih bersifat
menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan
hidup manusia dalam arti yang
seluas-luasnya.
2. Materi pendidikan akhlaq
Untuk
mencapai tujuan yang telah dirumuskan, ibn miskawaih menyebutkan beberapa hal
yang perlu dipelajari, diajarkan atau dipraktekkan. Sesuai dengan konsepnya
tentang manusia. Secara umum ibn miskawaih menghendaki agar semua sisi
kemanusiaan mendapat materi didikan yang
memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi dimaksud oleh
ibn Miskawaih diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada allah SWT.
Sejalan
dengan uraian tersebut diatas ibn
miskawaih menyebutkan tiga hal pokok tersebut adalah: (1) hal-hal yang wajib
bagi kebutuhan tubuh manusia, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan (3) hal-hal
yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Ketiga pokok materi tersebut
menurut ibn miskawaih dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
pemikiran yang selanjutnya disebut al-ulum al-fikriyah, dan kedua, ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya disebut al-ulum alhissiyat.
Ibn
miskawaih tidak memperinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan manusia
secara detail, materi tersebut diantaranya adalah shalat, puasa, sa’i. materi
pendidikan akhlaq yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa dicontohkan oleh
ibn Miskawaih dengan pembahasan tentang aqidah yang benar, mengesakan Allah dengan
segala kebesaranNya, serta motifasi untuk senang terhadap ilmu. Adapun materi
yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain dicontohkan dengan materi dalam ilmu
Muamalat, Pertanian Perkawinan,Saling menasehati
Selanjutnya
karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan,
maka apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asal semuanya tidak
lepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan, misalnya ilmu Nahwu dalam rangka
pendidikan Akhlaq, ibn miskawaih sangat mementingkan materi yang ada dalam ilmu
ini, karena materi dalam ilmu ini membantu manusia untuk lurus dalam berbicara,
demikian pula materi yang ada dalam ilmu
Mantiq akan membantu manusia untuk lurus dalam berfikir
3. Pendidik
dan Anak Didik
Kedua
aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini mendapat perhatian khusus dari
ibn Miskawaih. Menurutnya orang tua tetap merupakan pendidik yang mula-mula
bagi anak-anaknya dengan syari’at sebagai acuan utama materi pendidikannya.
Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam pendidikan, maka perlu
adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih.
Pendidik
sejati yang dimaksudkan ibn miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya
tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat jelas karena ia mensejajarkan
posisi mereka sama dengan posisi Nabi, terutama dalam hal cinta kasih . cinta
kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati urutan kedua setelah cinta
kasih terhadap allah.
4. Lingkungan
pendidikan
Ibn
Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adah) tidak dapat
dilakukan sendiri, tetapi harus bersaha atas dasar saling menolong dan saling
melengkapi, kondisi demikian akan tercipta apabila manusia saling mencintai,
setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karma
kesempurnaan yang lain.
Untuk
mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut ibn Miskawaih terkait
dengan politik pemerintahan. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai
kewajiban untuk menciptakannya, karena itu, ibn Miskawaih berpendapat bahwa
Agama dan Negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi. Satu dengan yang
lainnya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala Negara terhadap rakyatnya
semisal cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya, terhadap pemimpin
demikian, rakyat juga wajib mencintainya semisal cinta anak terhadap orang tua.
5. Metodologi
Pendidikan
Metodologi
pendidikan dapat dapat diartikan sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada
keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian metode ini terkait
dengan perubahan atau perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlaq maka
metode pendidikan disini berkaitan dengan metode pendidikan akhlaq. dalam
kaitan ini ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlaq bukanlah
merupakan bawaan atau warisan, karena jika demikian keadaannya tidak diperlukan
adanya pendidikan. Ibn miskawaih berpendirian bahwa akhlaq seseorang dapat
diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian halnya maka
usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang
selanjutnya dikenal dengan istilah Metodologi.
Terdapat
beberapa metode yang diajukan ibn Miskawaih dalam mencapai akhlaq yang baik.
Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan
menahan diri (al-adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan
yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa, latihan ini terutama diarahkan
agar manusia tidak memperturutkan kemauannya jiwa al-syahwaniyat dan
alghadabiyyat. Karena kedua jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka
wujud latihan dan menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan
dengan tidak minum yang membawa kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa,
apabila kemalasan muncul maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah
bekerja yang didalamnya mengandung unsur yang berat; seperti mengerjakan sholat
lima waktu, atau melakukan sebagian pekerjaan
baik yang didalamnya mengandung unsur yang melelahkan. Latihan yang
sungguh sungguh semacam ini diumpamakan oleh ibn Miskawaih seperti kesiapan
raja sebelum berhadapan dengan musuh.
Kesiapan
dimaksud mengandung pengertian harus dilakukan secara dini, terus menerus dan
tidak menunggu waktu, metode semacam ini ditemukan pula dalam karya etika para
filosof lain seperti halnya yang dilakukan imam al-Ghazali,ibn Arabi, ibn Sina.
Metode semacam ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Metode nya sebagaiamana
berikut :
a. Metode alami (tabi’iy)
Ibnu
Maskawaih mengatakan bahwa ide pokok dari metode alami ini adalah dalam
pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu berdasarkan atas pertumbuhan dan
perkembangan manusia lahir batin, dan jasmaniah dan rohaniah.
b. Nasihat dan tuntunan
Ibnu
Maskawaih menyatakan supaya anak menaati syariat dan berbuat baik diperlukan nasihat
dan tuntunan.
c. Metode Hukuman
Ibnu
Maskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik
salah satunya jika peserta didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah
diajarkan, mereka diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada
tatanan nilai yang ada.
d. Sanjungan dan pujian sebagai metode
pendidikan
Menurutnya
apabila peserta didik melaksanakan syariat dan berprilaku baik dia perlu
dipuji.
e. Mendidik berdasarkan asas-asas
pendidikan
Menurutnya
mendidik harus berdasarkan asas-asas pendidikan yaitu asas kesiapan,
keteladanan, kebiasaan, dan pembiasaan[9].
Kedua,
dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin
bagi dirinya, adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dalam pernyataan
ini adalah pengetahuan dan pengalaman yang berkenaan dengan hukum-hukum akhlaq
yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan
cara ini seseorang tidak akan hanyut kedalam perbuatan yang tidak baik, karena
ia bercermin pada perbuatan buruk dan akibatnya yang di alami orang
lain.manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian
mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan
seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya.
Dengan demikian, maka setiap malam dan siang
ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya, sehingga tidak satupun
perbuatannya terhindar dari perhatiaannya. Aspek pendidikan (pendidik dan anak
didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang
tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai
acuan utama materi pendidiknya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua
dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara
orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta
seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya
terhadap orang tuanya sendiri.
Ibnu
Miskawaih juga menyatakan bahwa cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya.
Secara umum ia membagi cinta kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat
melekat tetapi juga cepat pudar. Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak
cepat meudar. Ketiga, cinta yang melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula,
dan keempat cinta yang melekat dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya karena
kenikmatan, termasuk cinta yang cepat melekat dan cepat pula pudarnya.
Sedangkan cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat
melekat tetapi lambat pudarnya. Selanjutnya cinta yang didasarkan atas
kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya dan cepat pula pudar.
Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan tersebut, maka
melekat dan pudarnya lambat.
Adapun
yang dimaksud guru biasa oleh Ibnu Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar
guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki
berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya; pandai; dicintai; sejarah
hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya
menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang
dididiknya.
VI. KESIMPULAN
Menurut
Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari
dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan
tentang jiwa adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian
mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan
mampu menguak konsep pendidikan Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak
yang dirasa penting, karena setiap budaya memiliki norma etika atau tata susila
yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral merupakan suatu fenomena manusiawi
yang universal, yang hanya terdapat pada diri manusia.
Dari
karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan buku yang bertemakan “pendidikan” secara
langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan
dan kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku yang dinilai banyak mengandung
konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, yang banyak
dijadikan rujukan ulama’ dalam pendidikan.
Dari
konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika ditelaah
dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut selalu
mengacu kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi psikologis dan
kesiapan peserta didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany
untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan ‘irfany bagi mereka yang telah
matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya
juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi
dewasa dan etik bagi yang tua.
Penerapan sistem koedukasi dalam
pendidikan Islam bagi Ibnu miskawaih bahwa tidak baik anak pria dan wanita
bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka
pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak
dari penyimpangan-penyimpangan akhlak. Sedangkan Rasyid Ridha menolak adanya
manfaat dari koedukasi, dan menganggap bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki
kekurangan, namun dapat mendatangkan malapetaka, utamanya kaum wanita.
B. KONSEP PENDIDIKAN MENURUT IBNU SINA
I.
Riwayat
Singkat Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu ’Ali
al-Husyn ibn Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan perbedaan pendapat
di kalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama
tersebut diambil dari bahasa latin, Avin Sina, dan sebagian yang lain
mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab
berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut
dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana[10].
Dalam
sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual muslim yang
banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980
M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia
Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur
dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan polotik,
juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.
Adapun
Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah
Afganistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai berkebangsaan
Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistanini termasuk daerah Persia.
Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat
kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai
pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat,
bahwa Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya
Bukhara.
Pengetahuan
yang pertama kali ia pelajari ialah membaca al-qur’an. Setelah itu ia
melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh,
ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil
menghafal al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang
belum genap sepuluh tahun.dianggap seorang yang cerdas, karena dalam usia yang
sangat muda (17 Tahun) Ibnu Sina telah di kenal sebagai filosof dan dokter
terkemuka di Bukhara selain itu Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar
biasa. Kecuali seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai macam pekerjaan
dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik,
pengarang dan bahkan menjadi waziar (mentri).
Sebagai
ilmuwan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan buah pemikirannya dalam buku
karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah Al-Syifa
berupa ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian Al-Qanur
Al-Tabibb adalah sebuah ensiklopedi kedokteran. Ibnu sina wafat tahun 427 H =
1037 M. (permulaan abad yang kelima). Kitab As-Syifa’ terdiri dari 18 jilid.
Masih tersimpan satu muskha di universitas oxford, london.
II.
Riwayat
Pendidikan Ibnu Sina
Ibnu
Sina belajar filsafat dari Abu Abdillah an-Natili, seorang filosof kenamaan
yang kebetulan sedang berkunjung ke Bukhara. Beliau diminta ayah Ibnu Sina
tinggal di kediamannya untuk mengajarkan filsafat pada anaknya. Dalam waktu
yang singkat Ibnu Sina berhasil menguasai filsafat sehingga membuat kagum
gurunya. Tetapi sebelum itu, Ibnu Sina sudah tekun mempelajari ilmu fiqih dari
seorang ulama besar bernama Ismail yang tinggal di luar kota Bukhara.
Dengan
semangat yang tinggi, Ibnu Sina tidak keberatan harus bolak-balik ke rumah
gurunya. Kecerdasan Ibnu Sina semakin terlihat saat beliau berusia 16 tahun. Ia
sudah sanggup menerangkan kembali pada gurunya isi dari buku Isagoge (ilmu
logika), buku al-Mages (ilmu astronomi kuno) dan buku Ecludis (ilmu arsitektur)[11].
III. Konsep Pendidikan Islam Menurut Ibnu Sina
Ada
beberapa konsep pendidikan Ibnu Sina diantaranya :
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan menurut Ibnu Sina, yaitu :
a) Diarahkan kepada pengembangan seluruh
potensi yang dimiliki seseorang menuju perkembangan yang sempurna baik
perkembangan fisik, intelektual maupun budi pekerti[12].
b) Diarahkan pada upaya dalam rangka
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bersama-sama di masyarakat dengan
melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya disesuaikan dengan bakat,
kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya[13].
Sedangkan
tujuan pendidikan yang bersifat jasmani yang tidak boleh ditinggalkan yaitu
pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga,
tidur, maka, minum, dan menjaga kebersihan. Dengan pendidikan jasmani
diharapkan terbinanya pertumbuhan fisik siswa anak yang cerdas otaknya. Melalui
pendidikan budi pekerti anak diharapkan membiasakan diri berlaku sopan santun
dalam pergaulan hidup sehari-hari. Adapun pendidikan kesenian diharapkan
seorang anak dapat mempertajam perasaannya dan meningkatkan daya khayalnya. Kemudian
Ibnu Sina mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan, yang
artinya mencetak tenaga pekerja yang profesional[14].
Dari
beberapa tujuan pendidikan tersebut di atas, kalau dihubungkan antara yang satu
dengan yang lainnya menunjukkan bahwa Ibn Sina memiliki pola pemikiran tentang
tujuan pendidikan yang bersifat hirarkis-struktural. Maksudnya tujuan
pendidikan yang bersifat universal juga bersifat kurikuler (perbidang studi)
dan bersifat operasional. Pandangan tentang insan kamil yaitu manusia yang
terbina seluruh potensinya secara seimbang dan menyeluruh. Faktor yang
mempengarui terhadap tujuan pendidikan pada bidang keahliannya adalah situasi
masyarakat yang sudah maju dan terspesialisasi dan pandangan filsafat.
2. Kurikulum
Menurut
Crow bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata
pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk
menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu. Sedangkan menurut Ibn Sina,
kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik, seperti mata
pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara dan kesenian, ini
semua untuk anak usia 3 sampai 5 tahun.
Mengenai
mata pelajaran olah raga yang dipengaruhi oleh pandangan psikologis yang dapat
diketahui dari perkembangan usia, dan bakat, sehingga dapat diketahui mana yang
lebih banyak dilatih olah raga yang memerlukan fisik yang kuat serta keahlian
dan mana olah raga yang tergolong ringan, cepat, lambat dan sebagainya. Namun
yang dimasukkan ke dalam keu adalah olah raga adu kekuatan, gulat, meloncat,
jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Selanjutnya
kurikulum anak berusia 6 sampai 14 tahun adalah mencakup pelajaran membaca, menghafal
Al-Qur'an, pelajaran agama, syair, dan olah raga[15].[4] Kurikulum untuk usia 14 tahun ke atas dibagi
menjadi mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis. Adapun yang bersifat
teoritis adalah ilmu fisika, ilmu matematika, ilmu ketuhanan. Mata pelajaran
yang bersifat praktis adalah ilmu akhlak yang mengkaji tentang cara pengurusan
tingkah laku seseorang, baik ilmu pengurusan rumah tangga, ilmu politik,
berdagang, dan ilmu keprofesian.
Jadi
konsep kurikulum Ibn Sina ada 3 ciri, yaitu
:
1. Kurikulum tidak terbatas pada menyusun jumlah
mata pelajaran, melainkan tujuan, kapan mata pelajaran diajarkan, aspek
psikologis, dan keahlian yang akan dipilihnya. Sehingga siswa merasa senang
mempelajari suatu ilmu.
2. Strategi penyusunan yang bersifat pragmatis
fungsional (marketting Oriented). Sehingga setiap lulusan pendidikan dapat
difungsikan dalam masyarakat.
3. Strategi pembentukan kurikulum sebagaimana
yang dilakukan dalam mempelajari berbagai ilmu dan keterampilan.
Dari
ketiga ciri kurikulum tersebut telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum
yang dikehendaki oleh masyarakat modern.
3. Metodelogi Pendidikan Ibnu Sina
Konsep
ini dalam setiap pembahasan materi pelajaran selalu membicarakan tentang
bagaimana cara mengajarkan kepada anak didik yang disesuaikan dengan psikologis
anak. Ibn Sina berpandangan bahwa suatu materi pelajaran tidak dapat dijelaskan
dalam satu cara saja kepada anak didik, tapi harus menggunakan berbagai macam
cara berdasarkan pada perkembangan psikologisnya[16].
Sehingga penyampaian materi pelajaran pada anak sesuai baik sifat materi
pelajaran maupun metode yang akan diajarkan.
Menurut
Ibn Sina ada beberapa metode pengajaran diantaranya :
a. Metode Talqin
yaitu
metode mengajarkan membaca Al-Qur'an dengan cara memperdengarkan bacaan
Al-Qur'an sebagian demi sebagian, dan menyruh anak untuk mengulangi bacaan
dengan perlahan-lahan hingga hafal. Metode ini melibatkan guru dan murid dimana
murid diperintah untuk membimbing teman-temannya yang masih tertinggal, istilah
sekarang adalah tutor sebaya.
b. Metode Demonstrasi
Yaitu
metode cara mengajar meulis dengan mencontoh tulisan huruf hijaiyah di depan
murid, kemudian guru menyuruh murid untuk mendengarkannya yang dilanjutkan
dengan mendemonstrasikan cara menulis.
c. Metode Pembiasaan dan Teladan
Adalah
metode pengajaran yang sangat efektif, khususnya mengajarkan akhlak dengan cara
pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan psikologis anak.
d. Metode Diskusi
Adalah
metode cara penyajian pelajaran dimana siswa diberi pertanyaan yang bersifat
problematis untuk dipecahkan bersama. Diharapkan dengan metode ini mendapatkan
pengetahuan yang bersifat rasional dan terotis, sehingga tidak hanya
mengajarkan metode ceramah saja yang akibatnya para siswa akan tertinggal jauh
dari perkembangan ilmu pengetahuan.
e. Metode Magang
Adalah
metode yang menggabungkan antara teori dan praktek yang nantinya akan
menimbulkan manfaat ganda yaitu disamping para siswa mahir dalam suatu bidang
ilmu tertentu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja atau memiliki
kemampuan (skill).
f. Metode Penugasan
Adalah
metode cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas ajar. Siswa
dapat melakukan kegiatan belajar, sehingga siswa diharapkan dapat memecahkan
problem setelah guru menerangkan terlebih dahulu, dalam hal ini sejauh mana
siswa dapat memahami materi pelajaran yang telah diajarkan oleh guru.
Dari
uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa metode Ibn Sina memiliki empat ciri
penting sebagai berikut :
1. Memperlihatkan
adanya keinginan besar dari Ibn Sina terhadap kesuksesan pengajaran.
2. Adanya kesesuaian antara bidang studi dan
tingkat usia anak didik.
3. Lebih memperhatikan pada bakat dan minat anak
didik
4. Tingkat pengajaran yang menyeluruh mulai dari
TK sampai Perguruan Tinggi.
4. Konsep Guru
Konsep
ini membicarakan tentang guru yang baik. Menurutnya guru yang baik adalah guru
yang berakal cerdas, beragama, tahu cara mendidik akhlak, cakap mendidik, berpenampilan
tenang, jauh dari olok-olokan muridnya, tidak bermuka masam, sopan, santun,
bersih dan suci murni, sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol
budi pekertinya, telaten dalam mendidik anak, sabar dalam membimbing anak,
adil, hemat dalam menggunakan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak,
mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi dan lain-lain. Dengan
demikian yang ditekankan pada guru selain kompetensinya juga berperilaku baik.
Hal ini diambil dari kepribadian dari Ibn Sina sendiri.
5. Konsep
Hukuman Dalam Pengajaran
Dalam
konsep ini Ibn Sina sangat hati-hati dalam memberikan hukuman karena ia sangat
menghargai martabat manusia, hukuman diperlukan jika dalam keadaan terpaksa.
Atas dasar kemanusiaan ia membatasi hukuman tersebut, serta membolehkan
pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati hal ini dalam keadaan
tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal hukuman tidak boleh dilakukan.
VI. KESIMPULAN
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan menurut Ibnu Sina, yaitu :
a) Diarahkan kepada pengembangan seluruh
potensi yang dimiliki seseorang menuju perkembangan yang sempurna baik
perkembangan fisik, intelektual maupun budi pekerti .
b) Diarahkan pada upaya dalam rangka
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bersama-sama di masyarakat dengan
melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya disesuaikan dengan bakat,
kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya .
2. Konsep kurikulum Ibn Sina ada 3 ciri,
yaitu :
1.
Kurikulum tidak terbatas pada menyusun jumlah mata pelajaran, melainkan
tujuan, kapan mata pelajaran diajarkan, aspek psikologis, dan keahlian yang
akan dipilihnya. Sehingga siswa merasa senang mempelajari suatu ilmu.
2.
Strategi penyusunan yang bersifat pragmatis fungsional (marketting
Oriented). Sehingga setiap lulusan pendidikan dapat difungsikan dalam
masyarakat.
3.
Strategi pembentukan kurikulum sebagaimana yang dilakukan dalam
mempelajari berbagai ilmu dan keterampilan.
Konsep
ini dalam setiap pembahasan materi pelajaran selalu membicarakan tentang
bagaimana cara mengajarkan kepada anak didik yang disesuaikan dengan psikologis
anak. Ibn Sina berpandangan bahwa suatu materi pelajaran tidak dapat dijelaskan
dalam satu cara saja kepada anak didik, tapi harus menggunakan berbagai macam
cara berdasarkan pada perkembangan psikologisnya . Sehingga penyampaian materi
pelajaran pada anak sesuai baik sifat materi pelajaran maupun metode yang akan
diajarkan.
Dari
ketiga ciri kurikulum tersebut telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum
yang dikehendaki oleh masyarakat modern.
PERSAMAAN
DAN PERBEDAAN KONSEP PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH DAN IBNU SINA
I.
PERSAMAAN
KONSEP PENDIDIKAN KEDUANYA
Konsep
pendidikan ibnu miskawaih dan ibnu sina dalam hal metodologi memiliki kesamaan
dalam arti metode pembelajaran nya di lakukan dengan bermacam-macam metode yang
tidak hanya menggunakan satu metode pembelajaran. Metode pengajaran Ibnu
Miskawaih sebagai berikut:
Metode alami (tabi’iy), Nasihat dan
tuntunan, Metode Hukuman, Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan,
Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan.
Metode pengajaran ibnu sina sebagai
berikut:
Metode Talqin, Metode Demonstrasi,
Metode Pembiasaan dan Teladan, Metode Diskusi, Metode Magang, Metode Penugasan,
Dalam hal
kriteria guru mereka berdua memikiki pemikiran yang sama bahwa seorang guru
harus yang professional, berkepribadian, dan dapat menjadi Inspirasi serta
teladan bagi para anak didiknya. Materi Pengajaran mereka berdua memperhatikan
kesesuaian dengan kondisi peserta didik dalam hal tingkatan usia dan psikologis.
II.
PERBEDAAN
KONSEP PENDIDIKAN KEDUANYA
Ibn Sina
memiliki pola pemikiran tentang tujuan pendidikan yang bersifat
hirarkis-struktural. Maksudnya tujuan pendidikan yang bersifat universal juga
bersifat kurikuler (perbidang studi) dan bersifat operasional. Pandangan
tentang insan kamil yaitu manusia yang terbina seluruh potensinya secara
seimbang dan menyeluruh. Faktor yang mempengarui terhadap tujuan pendidikan
pada bidang keahliannya adalah situasi masyarakat yang sudah maju dan
terspesialisasi dan pandangan filsafat. Ibnu Sina mengemukakan tujuan
pendidikan yang bersifat keterampilan, yang artinya mencetak tenaga pekerja
yang profesional.
Sedangkan Ibnu
Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlaq.
Disini terlihat dengan jelas bahwa Karena dasar pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang akhlaq, maka konsep pendidikan
yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlaq. Tujuan pendidikan akhlaq dari
ibnu Miskawaih ini Menurutnya tujuan pendidikan itu identik dengan tujuan hidup
manusia maka dengan pendidikan manusia dapat mencapai tujuannya yaitu kebaikan,
kebahagian, dan kesempurnaan.
[1]
Lihat “ Memahat Kata, Memugar Dunia:101 Kisah yang menggugah Pikiran, karya Nilandari,
Ary (2005). Bandung:Penerbit MLC. Hal 42-46 Jilid 1
[2]
Lihat “ //id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Miskawaih,di unduh pada 12/12/2015, pukul
08:16 wib
[3]
Lihat “Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan ,Karya Soemowinoto, Sarwoko
(2008)..Jakarta :Penerbit Salemba Medika. Hal 77
[4]
Lihat “Tahdzib Al Akhlaq wa Tathhir Al A'raaq, Karya Maskawaih Ibnu (1389
H)..Beirut:Mansyurah Dar Al Maktabah. Hal 62, Cet 2
[5]
ibid
[6]
Lihat “Sebuah Kompilasi Filsafat Islam “, Karya Thawil Akhyar Dasoeki, ,
(Temanggung: DIMAS, 1993), hlm.47
[7]
Lihat “Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya”,Karya Zar, Sirajuddin, 2010,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 127-128.
[8]
Lihat “sejarah filsafat islam,terj.mulyadi kartanegara “,Karya Majid,fahri
,(Jakarta:pustaka jaya,1989),hal 265
[9]
Lihat “Pemikiran Pendidikan Islam”, Karya Mahmud, (Bandung, Pustaka Setia,, 2011), Hlm
286-288
[10]
Lihat “https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Sina, di unduh pada tgl 12/12/2015,
pukul 17:13
[11]
Lihat ” “Sebuah Kompilasi Filsafat Islam “, Karya Thawil Akhyar Dasoeki, , (Temanggung:
DIMAS, 1993), hlm.87
[12] Lihat “, As-Siyasah Fi at Tarbiyah, Karya
Ibn Sina, Mesir; Majalah al-Masyrik, 1906
[13]
Ibid
[14]
Lihat “Al-Burhan min as-Syifa’, Karya Ibn. Sina Mesir, al-Mathba’ah al-Aminah,
275 H, hal. 57.
[15]
Lihat “Al-Burhan min as-Syifa’, Mesir, al-Mathba’ah al-Aminah, Karya Ibn. Sina,
hlm 117
[16] Lihat
“As-Siyasah fi at-Tarbiyah, Karya Ibn Sina,
Loc, cit, hal. 1023.
0 komentar:
Posting Komentar